Wilujeng Sumping^^

Selamat datang di sini, silahkan menikmati hidangan yang ada. Alakadarnya saja ya..
Ga usah terlalu serius lah:)

Selasa, 23 November 2010

Membongkar Jaringan Terorisme di Indonesia Chapter 1

Membongkar Jaringan Terorisme di Indonesia Chapter 1

Oleh: Sya’bani Takdir



Siang itu saya agak terburu-buru berangkat ke kampus, ada presentasi mata kuliah Komunikasi Lintas Agama. Presentatornya seorang mahasiswa yang klo bicara di forum suka tanpa tending aling-aling alias apa adanya. Saya suka itu, makanya saya usahakan datang tidak telat.

Surprise, ternyata kawan saya itu hanya berdua saja sebagai penyaji. Judul makalah yang dibawakan mereka berdua pun sangat provokatif: “Mengupayakan dialog antar agama lewat terorisme”. Hemm. Cukup menarik untuk mata kuliah Komunikasi lintas agama.

Dia memulai presentasi seperti biasa, kami sekelas sudah sangat hapal gayanya. Selalu membuka dengan satu pertanyaan nakal. ”Siapa yang percaya kalau Dr.Azhari, Noordin M Top dkk memang benar-benar ada?” semua geleng kepala tanda abstain, kalau sudah seperti itu biasanya dia akan memulai presentasinya.

Jauh dari dugaan saya sebelumnya, ternyata presentasi kali ini dia tidak berapi-api, cenderung kalem. Namun data-data dan fakta yang ia keluarkan ternyata sangat mengejutkan. Saya hanya ingin bernagi dengan semua yang membaca note ini, perkara terima atau tidak, mari kita diskusikan belakangan. Jadi, silahkan diselesaikan dulu membacanya yah^^



Mulai dari analisis wacana sebagai pisau bedahnya

Mengutip Norman Fairclough saat mengklasifikasikan analisis wacana. Kawan saya itu juga memakai analisis wacana sebagai pisau bedah dalam menguliti isu ”terorisme” yang sedang –dan terus di- hangatkan. Fairclough mengklasifikasikan sebuah makna dalam analisi wacana menjadi tujuh bagian. Mari kita mulai satu persatu..


Translation (mengemukakan subtansi yang sama dengan media). Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu.

Membahas tentang klasifikasi makna yang pertama, kawan saya ini membongkar sehabis-habisnya ideologi media, pemodal, serta man behind the gun-nya. Dia memulainya dari sebuah TV yang secara live menyajikan ”reality show” (begitu saya biasa menyebutnya) penyergapan Noordin M. Top di temanggung.

TV yang mengklaim dirinya sebagai yang ”Terdepan Mengabarkan” ini memang sepertinya punya hak yang istimewa di dalam kepolisian kita, stasiun TV yang belum lama mengudara ini berhasil menyodok peringkat TV berita pesaingnya karena seringkali mendapatkan gambar-gambar ekslusif dalam berbagai peristiwa, terlebih lagi yang ada kaitannya dengan ”terorisme”. TV ini lah yang berhasil mewawancarai Amrozi sesaat sebelum di eksekusi, memiliki rekaman video pertama kali saat terjadi peledakkan bom di mega kuningan dan lain sebagainya. Ternyata usut punya usut sang bos TV ini merupakan salah satu penasihat bagian pers polri dan kawan dekat Gories Mere, komandan Densus 88 anti teror. Jadi secara tidak langsung TV ini sebetulnya sedang menjadi ”Humas” polri.

Nah, begitupula dengan masalah uang-peruangan. 20% saham TV ini dimiliki oleh perusahaan asing. Bahkan kabar terbaru, seorang taipan berdarah Yahudi Rupert Murdoch memiliki 50% sahamnya lewat Star TV Group. Semakin jelas lah kepada siapa TV ini mengabdi.

Belum lagi menguak ideologi media lain, salah satu TV ”kreatif” yang ikut serta memanaskan isu ini juga punya kepentingan kuat. Yakni menyelamatkan sang Bos yang saat ini sedang menduduki puncak pimpinan di Indonesia agar tidak dapat di goyahkan oleh lawan-lawan politiknya. Apa nama Tvnya? Wah.. semua pasti tahu dong TV yang selama ini berada dibawah bendera trans corp punya siapa. Hemm, pendukung setianya pak presiden.

Terus ada lagi MNC group, yang menguasai hampir 60% industri televisi nasional. 20% sahamnya dimiliki oleh asing lewat media corp singapura salah satunya. Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa TV kita tidak bisa lepas dari titipan. Apalagi ketika sudah berjudul ”industri” maka prinsip kapitalisme lah yang menjadi komando. Edukasi, informasi hanya menjadi bumbu pemanis jualan saja.

Itu baru kondisi Media elektronik kawan, diklasifikasi ini kita masih akan menelanjangi industri media. Setelah sukses membongkar kedok industri TV, kawan saya itu beralih ke industri media cetak. Kemampuannya mendapatkan data memang dahsyat, disamping memanfaatkan linknya dibeberapa media nasional. Naluri jurnalistik investigasinya juga sangat mematikan. Sehingga data yang disodorkan dapat dipertanggung jawabkan.

Industri media cetak di Indonesia di kuasai oleh para pengusaha lokal memang. Namun keberpihakan mereka terhadap modal asing terlihat sangat jelas. Media cetak di Indonesia memang tidak ada yang pernah mengklaim secara terang-terangan ideologinya. Itu terjadi lantaran media kita sangat opportunis. Melihat sesuatunya dengan sangat pragmatis, yang menjadi pertimbangan adalah untung dan rugi. Karena memang, persaingan bisnis industri media cetak sangat ketat. Menurut survey Dewan Pers pada semester akhir 2008, hanya 45% media cetak (koran,tabloid,majalah dll) yang sehat dan dapat menghidupi karyawannya, sedangkan sisanya terbit secara berkala – kala terbit, kala tidak-

Jurnalis kita memang masih sangat idealis untungnya, dilapangan mereka banar-benar mencari berita untuk kepentingan publik. Namun ketika sudah naik ke meja redaksi, berita-berita itu akan disortir dan yang sesusai dengan keinginnan bos lah yang bia lolos cetak. Ngga percaya? Coba deh tanya-tanya sama kenalan anda yang ”bekerja” sebagai wartawan. Karena saya sering mengalaminya, berita ditolak Cuma gara-gara ngga sesuai sama ”visi” media tempat kita bernaung (curcol dikit ah^^)

Kembali ke persoalan terorisme, boleh percaya boleh tidak hampir 75% media kita hanya memberitakan isu ini lantaran nilai jualnya sangat tinggi, dikalangan wartawan istilahnya sangat seksi. Yah, inilah realita yang harus kita terima.

Terorisme telah menjadi komoditi yang sangat laku. Kehadirannya selalu ditunggu-tunggu. Isu ini seolah telah menjadi semacam film – film korea yang kadang sampai berpuluh-puluh seri banyaknya. Namun kita tidak pernah merasa bosan untuk terus mengikutinya. Sampai sini, kita sebagai publik secara tidak sadar telah di perkosa oleh media, dipaksa untuk menerima apa yang mereka berikan, karena semua media seolah telah bersepakat untuk mengangkat sebuah Isu, ini lah yang di maksud dengan teori hypodermik dimana media memiliki daya susup sangat kuat dan publik tidak bisa apa – apa. Hanya bisa teriak di luar lalu suaranya hilang terbawa angin yang mendesau. Walaupun beberapa ahli komunikasi beranggapan teori ini sudah sangat usang dan tidak relevan lagi. Bagi saya, dinegeri ini teori hypodermik justur baru menunjukan kuasanya. (Bersambung)

Suatu Petang di Merdeka Utara

Suatu Petang di Merdeka Utara
[upaya menyongsong kesadaran]

“Dari jendela yang tak ada kacanya, dari sanalah aku mengenal seraut wajah yang bersisi lamunan (Jendela kelas satu Iwan Fals)”

Sinar matahari terlihat sudah sangat lawas, istana Negara yang angkuh menjulang pun makin terlihat buram, tak tampak sedikitpun cahaya kehangatan disana. Sesosok tubuh dengan rambut tak terurus terlihat duduk termenung dipinggir trotoar seberang istana rakyat yang direbut lewat pemilu atas dalih konstitusi oleh sang raja, duduk bersisian dengan kepedihan yang tak juga kunjung pergi. Beberapa pasang mata menatapnya, ada yang simpati menghiba, sebagian lain sedikit mencibir sinis, yang jelas beberapa pasang mata pria berseragam menatap awas.

Azwan, demikian lelaki itu dipanggil. Menempuh puluhan kilometer dari kota asalnya, Malang Jawa Timur bertandang ke istana dengan harapan dapat bertemu bapak presiden untuk sekadar berkeluh kesah dan merebut keadilan yang telah di perkosa oleh hukum laknat.
Tak seperti yang sering kita lihat pada tiap hari raya, dimana pintu istana lebar-lebar terbuka bagi rakyat. Hari itulah bapak presiden dengan ibu Negara akan menyambut rakyat untuk bersalaman, dengan sedikit senyuman basa-basi maka terselamatkan sudah citra Presiden sebagai pribadi yang peduli dan terbuka untuk semua. Sebuah lakon pepesan kosong hipokrit politik yang sempurna. Namun hari itu tidak ada pintu untuk azwan, alih-alih bertemu dengan Bapak Presiden, pak azwan lalu dipaksa untuk pulang lantaran hari sudah malam, begitu ujar seorang pria berseragam.

Sebagai warga Negara yang baik, azwan menuruti saran sang bapak berseragam. Naik taksi, lalu meluncur kembali menuju kantor LBH Jakarta. Tak sampai lima menit lepas kepergian Pak azwan, iring-iringan rombongan presiden ternyata justru keluar dari istana. Ah, andai saja Pak azwan mau sedikit berkeras dijalan, mungkin ia bisa meneriakkan langsung kegelisahannya. Walau kecil kemungkinan akan berhenti, tapi setidaknya dari dalam Mobil dinasnya yang nyaman bapak presiden bisa langsung melihat, syukur telinga beliau juga bisa mendengar teriakan Pak azwan.

Petang itu, di jalan Merdeka Utara Pak Azwan gagal bertemu dengan presidennya. Biarlah pak, toh hari kiamat nanti saatnya orang-orang yang dzalim menerima pembalasannya, yang penting kita sudah berusaha menyampaikan. Begitu ujar Yanda Ust.Arifin Ilham.

Saya tidak ingin menceritakan dengan detil kenapa Pak Azwan bisa sampai berjalan kaki dari Malang ke Jakarta, karena banyak media yang sudah mengulasnya. Pada tulisan kali ini saya hanya ingin ikut berteriak, ikut menyambung siarkan suara orang-orang yang selama ini terpendam dalam gua. Kisah pak azwan hanya satu dari ribuan cerita non fiksi tentang menderitanya jadi rakyat biasa di negri jamrud khatulistiwa bernama “Nusantara.” Jadi maaf jika tulisan ini akan terdengar sedikit bising, namanya juga orang teriak, toh kebebasan mengeluarkan pendapat di lindungi oleh undang-undang. Bukan begitu Bapak Presiden?? Yang tidak suka mendengar suara bising, silahkan tutup telinga tapi jangan tutup mata…

“Penguasa yang terburuk bukanlah yang suka memukul, melainkan yang mengharuskanmu memukul diri sendiri” Begitu ujar Amin Maalouf dalam bukunya; Cadas Tanios. Betul, pemerintah kita memang sangat baik.. tidak pernah memukul rakyatnya, yahh paling sesekali saja, jika dirasa si rakyat sudah “keterlaluan” tidak mau pergi dari “tanah pemerintah” misalnya, padahal di atas tanah itu akan dibangun pusat perbelanjaan baru untuk memuaskan nafsu kaum borjuis kota. Diluar itu pemerintah tidak pernah memukul rakyatnya, namun meracuni perlahan saja, agar kita dengan suka rela mau memukuli diri sendiri, atau agar kita saling hantam bahkan saling bunuh sesama saudara, agar tangan mereka tetap bersih..

Ini negeri bukan bukan milik pribadi, namun mengapa kenyataannya kita hidup tak ubahnya seperti dalam monarki dinasti. Hanya kelompok yang dekat dengan kekuasaan saja yang bisa sejahtera, diluar itu jangan harap. Oh iya, aku lupa memberitahu kalian, bahwa di negeri ini bukan pemerintah yang berkuasa, tapi modal lah yang sesungguhnya pegang kendali. Kemiskinan semakin akut bukan lantaran rakyat negeri ini malas bekerja dan berusaha, atau karena takdir Tuhan, namun karena pemerintah yang berselingkuh dengan modal memang berusaha memiskinkan secara sistematis.

Kalau tidak percaya, silahkan jalan-jalan ke pasar tradisonal. Anda akan menemukan orang yang telah tua renta masih bekerja memikul bakul untuk menyambung hidup, dan itu hanya akan anda temukan di negeri ini, tidak di Negara lain. Atau jika masih kurang yakin, sesekali jika sedang berhenti di lampu merah, cobalah tengokan kepala ke samping jendela, dengan mudah mata anda dapat menemukan anak-anak usia sekolah dasar yang semangat berlarian bertelanjang kaki dari satu mobil ke mobil lain untuk menjajakan koran dan unjuk kebolehan bernyanyi demi mengais recehan rupiah. Masih kurang usaha mereka untuk bisa bertahan hidup menurut anda? Atau jangan-jangan diam-diam anda malah menyangka Tuhan telah menentukan kemiskinan untuk mereka?! Tidak saudara, mereka tidak malas bekerja dan tidak ditakdirkan untuk miskin. Namun ada yang menghalangi usaha dan takdir mereka untuk dapat hidup layak.

“Kaum miskin, ujar Ivan Illich “telah direduksi menjadi sungai tak berwajah, tak berarus. Namun harus tetap dijaga dan terus dilestarikan agar tetap dapat dijadikan alat untuk mengemis bantuan dari donor raksaksa” begitu terangnya. Kemiskinan terus dipelihara agar negeri ini tetap mendapat bantuan untuk menjalankan produksi pemerintahan yang ongkosnya memang tidak sedikit.

Sungguh, rakyat kita tidak pernah menginginkan yang macam-macam dari penguasa. Keinginan mereka sederhana saja; Jaminan hukum, bisa makan setiap hari dengan layak, bisa menyekolahkan anak-anak, dan dapat berobat dikala sakit menerpa. Keinginan yang sangat sederhana dan wajar bukan? Jauh sekali jika dibandingkan dengan berbagai keinginan aneh “wakil” mereka di gedung dewan yang kerjanya hanya menghabiskan anggaran Negara.
Akan tetapi, keinginan (baca: kebutuhan) yang sederhana dan wajar itupun tak kunjung didapatkan. Hak-hak mereka masih saja direbut, padahal kewajiban telah ditunaikan dengan baik kepada Negara. Tidak aneh jika kemudian semakin banyak orang yang frustasi lantaran khawatir akan masa depannya, terlebih “harga” agama sudah semakin mahal sekarang, naik meroket bersaing dengan harga kebutuhan pokok. Terakhir kita dapatkan kabar, ada ibu yang membunuh anak yang baru tiga minggu di lahirkannya karena khawatir tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Rasanya dulu ketika Negara ini didirikan, tak pernah ada cita-cita untuk menyengsarakan rakyat bukan?


Menyongsong kesadaran

Terlalu banyak sudah persoalan di negeri ini yang tak kunjung selesai. Kita dibuat pelupa agar tak menuntut hak yang harusnya kita dapatkan, padahal kewajiban usai ditunaikan. Jangan harap keadilan akan datang, karena kesedihan hanya tontonan bagi mereka yang di perbudak jabatan, Iwan Fals menuliskan kejengahan akan keadaan timpang dalam bongkarnya.

Suara yang semakin berdesakan tak kunjung tersalurkan, hanya menumpuk dibatas kerongkongan. Sebagian sudah mengambil tindakan dan berteriak memang, namun mereka tak ubahnya seperti buih dilautan, tidak terorganisir dengan baik. Padahal untuk bersuara dengan lantang tidak cukup hanya dengan pengetahuan dan pemahaman akan persoalan, tetapi juga dibutuhkan organisasi yang solid, persoalan organisasi massa ini akan kita bahas lebih lanjut pada tulisan berikutnya insya Allah.

Suara dan teriakan itu harus terus di suarakan berulang-ulang, mengapa?

Dalam studi psikologi komunikasi, kita akan menemukan istilah struktur pesan yakni, komponen yang menyusun sebuah pesan: Attention, need, satisfication, visualization, dan action. Alan H Monroe menempatkan Attention (perhatian) di tingkatan pertama struktur pesan, karena untuk berhasil proses penyampaian pesan kepada komunikan, maka Attention adalah hal mutlak yang pertama harus di bangkitkan. Dalam hal ini untuk mengambil perhatian publik, maka pesan atau teriakan kita harus menarik, sentuh kebutuhan mendasar mereka.

Setelah strukur pesan dikuasasi, maka diperlukan pengulangan atau repetition, ini menjawab mengapa teriakan itu harus diulang-ulang. Repetition dimaksudkan untuk membentuk opini pada memori publik, dan menyadarkan mereka bahwa ada yang harus diperbaiki. Dengan repetition pesan akan semakin diingat, sederhana saja.
Maka teruslah berteriak, lewat berbagai cara: Aksi massa, propaganda media, kelompok-kelompok studi progresif, dan aksi nyata. Memberi pendampingan serta advokasi terhadap persoalan rakyat salah satu langkah nyata yang dapat dilakukan oleh orang-orang yang telah tersadarkan. Persoalannya kemudian adalah mau atau tidak kita ambil bagian dari kerja besar ini, karena senyatanya memang keadaan yang sedang kita alami tidak jauh berbeda dengan rakyat kebanyakan: ketidakadilan.

Pilihan memang ada ditangan kita, namun masihkah kita tidak mau membuka mata dan menyongsong kesadaran bahwa perahu bernama nusantara ini hampir karam dan harus segera diperbaiki jika ingin terus berlayar bersamanya. Mari siuman dari pingsan puluhan tahun kita, dan sadar bahwa Tuhan telah menganugerahkan hidup yang sungguh istimewa ini tidak hanya untuk diri sendiri, sebagai mana sabda sang nabi; “Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi orang lain”

Terakhir pada seri kali ini perkenankan saya meminjam ucapan Sayid Qutb, seorang ulama yang luar biasa teguh dalam pendiriannya, ketegaran beliau menjadi inspirasi banyak gerakan perlawanan di dunia, karena telah nyata tiang gantungan pun tak dapat merubah pendiriannya untuk terus melawan kedzaliman. “Orang yang hidup untuk dirinya sendiri adalah orang yang kerdil dan ia akan mati dalam kekerdilannya, dan orang yang hidup untuk orang lain adalah yang sesungguhnya manusia. Sekali lagi, Islam bukan hapalan, bukan sekadar deretan shalat, tapi gerakan yang terus menerus untuk menciptakan sistem sosial. Tatanan sosial yang berhamba hanya pada kebesaran Allah dan bersandar pada keadilan. Itu sebabnya semua yang mencoba menghalangi tegaknya sistem ini, maka patut untuk diperangi” (Fi Zhilalil Qur’an Jilid 2)

Bergerak atau mati!
Yk, 03 Agustus 2010
Dhie Alghazy.

Kepustakaan:
Amin Maalouf: Cadas Tanios. Yayasan Obor Indonesia. 1999.
Ivan Illich,: Perayaan Kesadaran. Ikon Teralitera - Yogyakarta, 2002.
Jalaludin Rahmat: Psikologi Komunikasi, Rosda Karya - Bandung, 2005.
Sayiq Qutb: Fi Zhilalil Qur’an. Darus Syuruq - Beirut, 1992.