tag:blogger.com,1999:blog-44145670837810816392024-03-13T19:13:39.071-07:00Kita Merevitalisasi Keilmuan KomunikasiMari berbincang tentang ilmu komunikasi dan dunianya, sambil menyeruput kopi dan sesekali berbagi kelakar tentang kehidupan.sandaljepithttp://www.blogger.com/profile/08082568225170062673noreply@blogger.comBlogger8125tag:blogger.com,1999:blog-4414567083781081639.post-79847426464805564512010-11-23T18:01:00.000-08:002010-11-23T18:02:18.108-08:00Membongkar Jaringan Terorisme di Indonesia Chapter 1<span style="font-weight:bold;">Membongkar Jaringan Terorisme di Indonesia Chapter 1</span><br /><br /><span style="font-style:italic;">Oleh: Sya’bani Takdir</span><br /><br /> <br /><br />Siang itu saya agak terburu-buru berangkat ke kampus, ada presentasi mata kuliah Komunikasi Lintas Agama. Presentatornya seorang mahasiswa yang klo bicara di forum suka tanpa tending aling-aling alias apa adanya. Saya suka itu, makanya saya usahakan datang tidak telat.<br /><br />Surprise, ternyata kawan saya itu hanya berdua saja sebagai penyaji. Judul makalah yang dibawakan mereka berdua pun sangat provokatif: “Mengupayakan dialog antar agama lewat terorisme”. Hemm. Cukup menarik untuk mata kuliah Komunikasi lintas agama.<br /><br />Dia memulai presentasi seperti biasa, kami sekelas sudah sangat hapal gayanya. Selalu membuka dengan satu pertanyaan nakal. ”Siapa yang percaya kalau Dr.Azhari, Noordin M Top dkk memang benar-benar ada?” semua geleng kepala tanda abstain, kalau sudah seperti itu biasanya dia akan memulai presentasinya.<br /><br />Jauh dari dugaan saya sebelumnya, ternyata presentasi kali ini dia tidak berapi-api, cenderung kalem. Namun data-data dan fakta yang ia keluarkan ternyata sangat mengejutkan. Saya hanya ingin bernagi dengan semua yang membaca note ini, perkara terima atau tidak, mari kita diskusikan belakangan. Jadi, silahkan diselesaikan dulu membacanya yah^^<br /><br /> <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Mulai dari analisis wacana sebagai pisau bedahnya</span> <br /><br />Mengutip Norman Fairclough saat mengklasifikasikan analisis wacana. Kawan saya itu juga memakai analisis wacana sebagai pisau bedah dalam menguliti isu ”terorisme” yang sedang –dan terus di- hangatkan. Fairclough mengklasifikasikan sebuah makna dalam analisi wacana menjadi tujuh bagian. Mari kita mulai satu persatu..<br /><br /> <br />Translation (mengemukakan subtansi yang sama dengan media). Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu.<br /><br />Membahas tentang klasifikasi makna yang pertama, kawan saya ini membongkar sehabis-habisnya ideologi media, pemodal, serta man behind the gun-nya. Dia memulainya dari sebuah TV yang secara live menyajikan ”reality show” (begitu saya biasa menyebutnya) penyergapan Noordin M. Top di temanggung.<br /><br />TV yang mengklaim dirinya sebagai yang ”Terdepan Mengabarkan” ini memang sepertinya punya hak yang istimewa di dalam kepolisian kita, stasiun TV yang belum lama mengudara ini berhasil menyodok peringkat TV berita pesaingnya karena seringkali mendapatkan gambar-gambar ekslusif dalam berbagai peristiwa, terlebih lagi yang ada kaitannya dengan ”terorisme”. TV ini lah yang berhasil mewawancarai Amrozi sesaat sebelum di eksekusi, memiliki rekaman video pertama kali saat terjadi peledakkan bom di mega kuningan dan lain sebagainya. Ternyata usut punya usut sang bos TV ini merupakan salah satu penasihat bagian pers polri dan kawan dekat Gories Mere, komandan Densus 88 anti teror. Jadi secara tidak langsung TV ini sebetulnya sedang menjadi ”Humas” polri.<br /><br />Nah, begitupula dengan masalah uang-peruangan. 20% saham TV ini dimiliki oleh perusahaan asing. Bahkan kabar terbaru, seorang taipan berdarah Yahudi Rupert Murdoch memiliki 50% sahamnya lewat Star TV Group. Semakin jelas lah kepada siapa TV ini mengabdi.<br /><br />Belum lagi menguak ideologi media lain, salah satu TV ”kreatif” yang ikut serta memanaskan isu ini juga punya kepentingan kuat. Yakni menyelamatkan sang Bos yang saat ini sedang menduduki puncak pimpinan di Indonesia agar tidak dapat di goyahkan oleh lawan-lawan politiknya. Apa nama Tvnya? Wah.. semua pasti tahu dong TV yang selama ini berada dibawah bendera trans corp punya siapa. Hemm, pendukung setianya pak presiden.<br /><br />Terus ada lagi MNC group, yang menguasai hampir 60% industri televisi nasional. 20% sahamnya dimiliki oleh asing lewat media corp singapura salah satunya. Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa TV kita tidak bisa lepas dari titipan. Apalagi ketika sudah berjudul ”industri” maka prinsip kapitalisme lah yang menjadi komando. Edukasi, informasi hanya menjadi bumbu pemanis jualan saja.<br /><br />Itu baru kondisi Media elektronik kawan, diklasifikasi ini kita masih akan menelanjangi industri media. Setelah sukses membongkar kedok industri TV, kawan saya itu beralih ke industri media cetak. Kemampuannya mendapatkan data memang dahsyat, disamping memanfaatkan linknya dibeberapa media nasional. Naluri jurnalistik investigasinya juga sangat mematikan. Sehingga data yang disodorkan dapat dipertanggung jawabkan.<br /><br />Industri media cetak di Indonesia di kuasai oleh para pengusaha lokal memang. Namun keberpihakan mereka terhadap modal asing terlihat sangat jelas. Media cetak di Indonesia memang tidak ada yang pernah mengklaim secara terang-terangan ideologinya. Itu terjadi lantaran media kita sangat opportunis. Melihat sesuatunya dengan sangat pragmatis, yang menjadi pertimbangan adalah untung dan rugi. Karena memang, persaingan bisnis industri media cetak sangat ketat. Menurut survey Dewan Pers pada semester akhir 2008, hanya 45% media cetak (koran,tabloid,majalah dll) yang sehat dan dapat menghidupi karyawannya, sedangkan sisanya terbit secara berkala – kala terbit, kala tidak- <br /><br />Jurnalis kita memang masih sangat idealis untungnya, dilapangan mereka banar-benar mencari berita untuk kepentingan publik. Namun ketika sudah naik ke meja redaksi, berita-berita itu akan disortir dan yang sesusai dengan keinginnan bos lah yang bia lolos cetak. Ngga percaya? Coba deh tanya-tanya sama kenalan anda yang ”bekerja” sebagai wartawan. Karena saya sering mengalaminya, berita ditolak Cuma gara-gara ngga sesuai sama ”visi” media tempat kita bernaung (curcol dikit ah^^)<br /><br />Kembali ke persoalan terorisme, boleh percaya boleh tidak hampir 75% media kita hanya memberitakan isu ini lantaran nilai jualnya sangat tinggi, dikalangan wartawan istilahnya sangat seksi. Yah, inilah realita yang harus kita terima.<br /><br />Terorisme telah menjadi komoditi yang sangat laku. Kehadirannya selalu ditunggu-tunggu. Isu ini seolah telah menjadi semacam film – film korea yang kadang sampai berpuluh-puluh seri banyaknya. Namun kita tidak pernah merasa bosan untuk terus mengikutinya. Sampai sini, kita sebagai publik secara tidak sadar telah di perkosa oleh media, dipaksa untuk menerima apa yang mereka berikan, karena semua media seolah telah bersepakat untuk mengangkat sebuah Isu, ini lah yang di maksud dengan teori hypodermik dimana media memiliki daya susup sangat kuat dan publik tidak bisa apa – apa. Hanya bisa teriak di luar lalu suaranya hilang terbawa angin yang mendesau. Walaupun beberapa ahli komunikasi beranggapan teori ini sudah sangat usang dan tidak relevan lagi. Bagi saya, dinegeri ini teori hypodermik justur baru menunjukan kuasanya. (Bersambung)sandaljepithttp://www.blogger.com/profile/08082568225170062673noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4414567083781081639.post-3233688794038129502010-11-23T17:56:00.000-08:002010-11-23T18:00:02.568-08:00Suatu Petang di Merdeka Utara<span style="font-weight:bold;">Suatu Petang di Merdeka Utara</span><br /><span style="font-style:italic;">[upaya menyongsong kesadaran]</span><br /><br /><span style="font-style:italic;">“Dari jendela yang tak ada kacanya, dari sanalah aku mengenal seraut wajah yang bersisi lamunan (Jendela kelas satu Iwan Fals)”</span><br /><br /> Sinar matahari terlihat sudah sangat lawas, istana Negara yang angkuh menjulang pun makin terlihat buram, tak tampak sedikitpun cahaya kehangatan disana. Sesosok tubuh dengan rambut tak terurus terlihat duduk termenung dipinggir trotoar seberang istana rakyat yang direbut lewat pemilu atas dalih konstitusi oleh sang raja, duduk bersisian dengan kepedihan yang tak juga kunjung pergi. Beberapa pasang mata menatapnya, ada yang simpati menghiba, sebagian lain sedikit mencibir sinis, yang jelas beberapa pasang mata pria berseragam menatap awas.<br /><br /> Azwan, demikian lelaki itu dipanggil. Menempuh puluhan kilometer dari kota asalnya, Malang Jawa Timur bertandang ke istana dengan harapan dapat bertemu bapak presiden untuk sekadar berkeluh kesah dan merebut keadilan yang telah di perkosa oleh hukum laknat.<br />Tak seperti yang sering kita lihat pada tiap hari raya, dimana pintu istana lebar-lebar terbuka bagi rakyat. Hari itulah bapak presiden dengan ibu Negara akan menyambut rakyat untuk bersalaman, dengan sedikit senyuman basa-basi maka terselamatkan sudah citra Presiden sebagai pribadi yang peduli dan terbuka untuk semua. Sebuah lakon pepesan kosong hipokrit politik yang sempurna. Namun hari itu tidak ada pintu untuk azwan, alih-alih bertemu dengan Bapak Presiden, pak azwan lalu dipaksa untuk pulang lantaran hari sudah malam, begitu ujar seorang pria berseragam.<br /><br /> Sebagai warga Negara yang baik, azwan menuruti saran sang bapak berseragam. Naik taksi, lalu meluncur kembali menuju kantor LBH Jakarta. Tak sampai lima menit lepas kepergian Pak azwan, iring-iringan rombongan presiden ternyata justru keluar dari istana. Ah, andai saja Pak azwan mau sedikit berkeras dijalan, mungkin ia bisa meneriakkan langsung kegelisahannya. Walau kecil kemungkinan akan berhenti, tapi setidaknya dari dalam Mobil dinasnya yang nyaman bapak presiden bisa langsung melihat, syukur telinga beliau juga bisa mendengar teriakan Pak azwan.<br /><br /> Petang itu, di jalan Merdeka Utara Pak Azwan gagal bertemu dengan presidennya. Biarlah pak, toh hari kiamat nanti saatnya orang-orang yang dzalim menerima pembalasannya, yang penting kita sudah berusaha menyampaikan. Begitu ujar Yanda Ust.Arifin Ilham.<br /><br /> Saya tidak ingin menceritakan dengan detil kenapa Pak Azwan bisa sampai berjalan kaki dari Malang ke Jakarta, karena banyak media yang sudah mengulasnya. Pada tulisan kali ini saya hanya ingin ikut berteriak, ikut menyambung siarkan suara orang-orang yang selama ini terpendam dalam gua. Kisah pak azwan hanya satu dari ribuan cerita non fiksi tentang menderitanya jadi rakyat biasa di negri jamrud khatulistiwa bernama “Nusantara.” Jadi maaf jika tulisan ini akan terdengar sedikit bising, namanya juga orang teriak, toh kebebasan mengeluarkan pendapat di lindungi oleh undang-undang. Bukan begitu Bapak Presiden?? Yang tidak suka mendengar suara bising, silahkan tutup telinga tapi jangan tutup mata…<br /><br /> “Penguasa yang terburuk bukanlah yang suka memukul, melainkan yang mengharuskanmu memukul diri sendiri” Begitu ujar Amin Maalouf dalam bukunya; Cadas Tanios. Betul, pemerintah kita memang sangat baik.. tidak pernah memukul rakyatnya, yahh paling sesekali saja, jika dirasa si rakyat sudah “keterlaluan” tidak mau pergi dari “tanah pemerintah” misalnya, padahal di atas tanah itu akan dibangun pusat perbelanjaan baru untuk memuaskan nafsu kaum borjuis kota. Diluar itu pemerintah tidak pernah memukul rakyatnya, namun meracuni perlahan saja, agar kita dengan suka rela mau memukuli diri sendiri, atau agar kita saling hantam bahkan saling bunuh sesama saudara, agar tangan mereka tetap bersih..<br /><br /> Ini negeri bukan bukan milik pribadi, namun mengapa kenyataannya kita hidup tak ubahnya seperti dalam monarki dinasti. Hanya kelompok yang dekat dengan kekuasaan saja yang bisa sejahtera, diluar itu jangan harap. Oh iya, aku lupa memberitahu kalian, bahwa di negeri ini bukan pemerintah yang berkuasa, tapi modal lah yang sesungguhnya pegang kendali. Kemiskinan semakin akut bukan lantaran rakyat negeri ini malas bekerja dan berusaha, atau karena takdir Tuhan, namun karena pemerintah yang berselingkuh dengan modal memang berusaha memiskinkan secara sistematis.<br /><br /> Kalau tidak percaya, silahkan jalan-jalan ke pasar tradisonal. Anda akan menemukan orang yang telah tua renta masih bekerja memikul bakul untuk menyambung hidup, dan itu hanya akan anda temukan di negeri ini, tidak di Negara lain. Atau jika masih kurang yakin, sesekali jika sedang berhenti di lampu merah, cobalah tengokan kepala ke samping jendela, dengan mudah mata anda dapat menemukan anak-anak usia sekolah dasar yang semangat berlarian bertelanjang kaki dari satu mobil ke mobil lain untuk menjajakan koran dan unjuk kebolehan bernyanyi demi mengais recehan rupiah. Masih kurang usaha mereka untuk bisa bertahan hidup menurut anda? Atau jangan-jangan diam-diam anda malah menyangka Tuhan telah menentukan kemiskinan untuk mereka?! Tidak saudara, mereka tidak malas bekerja dan tidak ditakdirkan untuk miskin. Namun ada yang menghalangi usaha dan takdir mereka untuk dapat hidup layak. <br /><br /> “Kaum miskin, ujar Ivan Illich “telah direduksi menjadi sungai tak berwajah, tak berarus. Namun harus tetap dijaga dan terus dilestarikan agar tetap dapat dijadikan alat untuk mengemis bantuan dari donor raksaksa” begitu terangnya. Kemiskinan terus dipelihara agar negeri ini tetap mendapat bantuan untuk menjalankan produksi pemerintahan yang ongkosnya memang tidak sedikit.<br /><br /> Sungguh, rakyat kita tidak pernah menginginkan yang macam-macam dari penguasa. Keinginan mereka sederhana saja; Jaminan hukum, bisa makan setiap hari dengan layak, bisa menyekolahkan anak-anak, dan dapat berobat dikala sakit menerpa. Keinginan yang sangat sederhana dan wajar bukan? Jauh sekali jika dibandingkan dengan berbagai keinginan aneh “wakil” mereka di gedung dewan yang kerjanya hanya menghabiskan anggaran Negara.<br />Akan tetapi, keinginan (baca: kebutuhan) yang sederhana dan wajar itupun tak kunjung didapatkan. Hak-hak mereka masih saja direbut, padahal kewajiban telah ditunaikan dengan baik kepada Negara. Tidak aneh jika kemudian semakin banyak orang yang frustasi lantaran khawatir akan masa depannya, terlebih “harga” agama sudah semakin mahal sekarang, naik meroket bersaing dengan harga kebutuhan pokok. Terakhir kita dapatkan kabar, ada ibu yang membunuh anak yang baru tiga minggu di lahirkannya karena khawatir tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Rasanya dulu ketika Negara ini didirikan, tak pernah ada cita-cita untuk menyengsarakan rakyat bukan?<br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Menyongsong kesadaran</span><br /><br /> Terlalu banyak sudah persoalan di negeri ini yang tak kunjung selesai. Kita dibuat pelupa agar tak menuntut hak yang harusnya kita dapatkan, padahal kewajiban usai ditunaikan. Jangan harap keadilan akan datang, karena kesedihan hanya tontonan bagi mereka yang di perbudak jabatan, Iwan Fals menuliskan kejengahan akan keadaan timpang dalam bongkarnya.<br /><br /> Suara yang semakin berdesakan tak kunjung tersalurkan, hanya menumpuk dibatas kerongkongan. Sebagian sudah mengambil tindakan dan berteriak memang, namun mereka tak ubahnya seperti buih dilautan, tidak terorganisir dengan baik. Padahal untuk bersuara dengan lantang tidak cukup hanya dengan pengetahuan dan pemahaman akan persoalan, tetapi juga dibutuhkan organisasi yang solid, persoalan organisasi massa ini akan kita bahas lebih lanjut pada tulisan berikutnya insya Allah.<br /><br />Suara dan teriakan itu harus terus di suarakan berulang-ulang, mengapa?<br /><br /> Dalam studi psikologi komunikasi, kita akan menemukan istilah struktur pesan yakni, komponen yang menyusun sebuah pesan: Attention, need, satisfication, visualization, dan action. Alan H Monroe menempatkan Attention (perhatian) di tingkatan pertama struktur pesan, karena untuk berhasil proses penyampaian pesan kepada komunikan, maka Attention adalah hal mutlak yang pertama harus di bangkitkan. Dalam hal ini untuk mengambil perhatian publik, maka pesan atau teriakan kita harus menarik, sentuh kebutuhan mendasar mereka.<br /><br /> Setelah strukur pesan dikuasasi, maka diperlukan pengulangan atau repetition, ini menjawab mengapa teriakan itu harus diulang-ulang. Repetition dimaksudkan untuk membentuk opini pada memori publik, dan menyadarkan mereka bahwa ada yang harus diperbaiki. Dengan repetition pesan akan semakin diingat, sederhana saja.<br />Maka teruslah berteriak, lewat berbagai cara: Aksi massa, propaganda media, kelompok-kelompok studi progresif, dan aksi nyata. Memberi pendampingan serta advokasi terhadap persoalan rakyat salah satu langkah nyata yang dapat dilakukan oleh orang-orang yang telah tersadarkan. Persoalannya kemudian adalah mau atau tidak kita ambil bagian dari kerja besar ini, karena senyatanya memang keadaan yang sedang kita alami tidak jauh berbeda dengan rakyat kebanyakan: ketidakadilan.<br /><br /> Pilihan memang ada ditangan kita, namun masihkah kita tidak mau membuka mata dan menyongsong kesadaran bahwa perahu bernama nusantara ini hampir karam dan harus segera diperbaiki jika ingin terus berlayar bersamanya. Mari siuman dari pingsan puluhan tahun kita, dan sadar bahwa Tuhan telah menganugerahkan hidup yang sungguh istimewa ini tidak hanya untuk diri sendiri, sebagai mana sabda sang nabi; “Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi orang lain”<br /><br /> Terakhir pada seri kali ini perkenankan saya meminjam ucapan Sayid Qutb, seorang ulama yang luar biasa teguh dalam pendiriannya, ketegaran beliau menjadi inspirasi banyak gerakan perlawanan di dunia, karena telah nyata tiang gantungan pun tak dapat merubah pendiriannya untuk terus melawan kedzaliman. “Orang yang hidup untuk dirinya sendiri adalah orang yang kerdil dan ia akan mati dalam kekerdilannya, dan orang yang hidup untuk orang lain adalah yang sesungguhnya manusia. Sekali lagi, Islam bukan hapalan, bukan sekadar deretan shalat, tapi gerakan yang terus menerus untuk menciptakan sistem sosial. Tatanan sosial yang berhamba hanya pada kebesaran Allah dan bersandar pada keadilan. Itu sebabnya semua yang mencoba menghalangi tegaknya sistem ini, maka patut untuk diperangi” (Fi Zhilalil Qur’an Jilid 2)<br /><br />Bergerak atau mati!<br />Yk, 03 Agustus 2010<br />Dhie Alghazy.<br /><br />Kepustakaan:<br />Amin Maalouf: Cadas Tanios. Yayasan Obor Indonesia. 1999.<br />Ivan Illich,: Perayaan Kesadaran. Ikon Teralitera - Yogyakarta, 2002.<br />Jalaludin Rahmat: Psikologi Komunikasi, Rosda Karya - Bandung, 2005.<br />Sayiq Qutb: Fi Zhilalil Qur’an. Darus Syuruq - Beirut, 1992.sandaljepithttp://www.blogger.com/profile/08082568225170062673noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4414567083781081639.post-45557700971964540962010-07-13T07:34:00.000-07:002010-07-13T07:43:59.962-07:00Analisis SOSTAC Terhadap Bank Muamalat SyariahAnalisis SOSTAC Terhadap Bank Muamalat Indonesia.<br /><br />Latar Belakang<br /><br />Dalam satu dasawarsa ini, pertumbuhan bank syariah di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Melihat betapa ekspansifnya bank-bank syariah dalam membuka cabangnya di seluruh pelosok daerah. Bank Syariah Mandiri adalah salah satu contoh yang menapaki pertumbuhan pesat ini. Lahir sebagai follower, kini berubah menjadi kompetitor yang potensial bagi Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang notabene merupakan market leader dalam dunia perbankan syariah di Indonesia. Atas dasar dikeluarkannya fatwa haram untuk bunga oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), sedikit banyak tentu saja turut memberi kontribusi pada percepatan pertumbuhan bank syariah di masa yang akan datang. Namun bila tidak dikelola dengan baik, maka akan menjadi bumerang dan menyerang balik bila perusahaan belum memiliki kapasitas yang memadai untuk melayani pasarnya dengan cara yang memuaskan. Pengkajian yang menyeluruh untuk melihat peluang-peluang apa saja yang dapat yang dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja bisnis yang ada.<br /><br />Meski telah tumbuh, rasio pertumbuhannya dirasa masih sangat kecil jika dibandingkan dengan total pasar perbankan yang ada di Indonesia. Berdasarkan data statistik yang telah diterbitkan BI pada Februari 2007, bank syariah telah memiliki aset sebesar Rp 28,45 triliun atau dengan market share 1,63 %. Bank Indonesia sebagai regulator perbankan nasional pun mengambil langkah-langkah akselerasi perbankan syariah dengan mematok target 5% market share dikuasai oleh perbankan syariah pada akhir tahun 2008. Adapun Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai pemain utama perbankan syariah, turut menjadi penentu bagi tercapainya target jangka pendek tersebut. Namun, mengingat akhir tahun 2010 tinggal enam bulan lagi, maka target tersebut rasanya sangat sulit untuk dicapai. Terlebih, kondisi perekonomian global sedang menampakkan kelesuan yang teramat sangat, bahkan negara-negara pasar utama Indonesia menunjukkan perlambatan perekonomian. <br /><br />Oleh karenanya dalam makalah ini, penulis akan coba menganalisa Bank Muamalat Indonesia yang seperti telah disebut diawal adalah market leader dalam dunia perbankan syariah di Indonesia, terlebih lagi pada februari 2010 lalu, BMI masuk dalam top brand dalam katagori Bank syariah. <br /><br />Penulis akan memakai analisis SOSTAC untuk menggali sejauh mana BMI dapat mempertahankan posisinya sebagai market leader dan Top Brand, karena kita tahu pesaing terberatnya, yakni Bank Syariah Mandiri (BSM) terus menempel ketat di belakang. Selain itu lewat analisis SOSTAC pula kita akan mengetahui bagaimana strategi komunikasi pemasaran BMI untuk bertahan ditengah dunia perbankan syariah di Indonesia.<br /><br />Pembahasan<br />Analisis Strategi Komunikasi Pemasaran Bank Muamalat Indonesia<br /><br />B. Analisis SOSTAC<br /><br />Langkah 1 : Situation<br /><br />Dunia perbankan di Indonesia semenjak satu dasawarsa terakhir diramaikan dengan pemain baru, yakni industri perbankan syariah. Pada tahun 1991, Bank Muamalat Indonesia berdiri pertama kalinya sebagai Bank Syariah. Sebagai Market Leader, BMI terus memimpin pasar perbankan syariah, dengan slogan “Pertama dan Murni Syariah” BMI berhasil menarik minat konsumen dengan baik. Ditambah dengan strateginya menggandeng PT.Pos Indonesia dalam bentuk penjualan Paket Tabungan Share-e ditiap kantor cabang PT.Pos Indonesia semakin memudahkan calon nasabah yang ingin membuka account atau tabungan di BMI, karena Kantor Pos dapat ditemukan sampai tingkat kecamatan diseluruh Indonesia. Tidak hanya di perkotaan, tapi juga di pelosok daerah. Saat ini BMI telah memiliki 261 outlet. Layanan BMI juga dapat dengan mudah diakses nasabah di daerah-daerah terpencil karena bank ini telah beraliansi dengan lebih dari 3.800 kantor pos online dengan menggunakan system online payment point (SOPP).<br /><br />Hingga akhir tahun 2004, Bank Muamalat tetap merupakan bank syariah terkemuka di Indonesia dengan jumlah aktiva sebesar Rp 5,2 triliun, modal pemegang saham sebesar Rp 269,7 miliar serta perolehan laba bersih sebesar Rp 48,4 miliar pada tahun 2004. Bahkan dalam laporan tahunan 2007, BMI membukukan total aset Rp 10,57 triliun dan laba bersih sekitar Rp 145 milyar. Artinya, respective 2007, BMI menguasai sekitar 37,15% market share perbankan syariah atau 0,61% market share perbankan nasional.<br />Dalam 10 tahun terakhir, BMI juga memperoleh tidak kurang dari 52 penghargaan, diantaranya adalah BMI as The Best Of Indonesian Bank Loyalty Champion, Category Sharia Banking pada IBLA 2009, Indonesia Bank Loyalty Award, pada Banking Efficiency Award 2009 dari Bisnis Indonesia, Best Islamic Finance House In Indonesia dari Alpha Southeast Asia Awards, BMI Best Performance Bank Kategori Bank Umum Syariah & UUS dari ABFI Banking Award 2009, Peringkat Sangat Bagus Atas Kinerja Keuangan 2004-2008 dari Info Bank Golden Trophy 2009, The Best Of "Indonesian Bank Loyalty Champion", Category Saving Account, Islamic Banking dari Indonesia Bank Loyalty Award (IBLA) 2010, Best Islamic Bank in Indonesia dari Islamic Finance News Award 2009. Oleh karenanya, tidak aneh jika pada februari 2010, BMI meraih Superbrand yang ketiga kalinya sejak 2004.<br /><br />Kompetitor terdekat BMI adalah Bank Syariah Mandiri (BSM) anak perusahaan dari Bank Mandiri ini terus menempel ketat BMI, BMI bergantian dengan BNI syariah menduduki posisi runner up dalam kompetisi perbankan syariah dari tahun ke tahunnya. Kompetisi yang serius tampaknya memang tengah dilewati tiga bank syariah besar, yaitu BMI, BSM, dan BNI Syariah. Dilihat dari sisi tabungan, BMI telah menjadi penguasa terbesar dengan pangsa 42,28% dari total tabungan bank syariah. Penguasa pasar tabungan bank syariah terbesar kedua dipegang BSM dengan pangsa 29,14%. Sementara, BNI Syariah hanya menguasai 9,54% dari total tabungan bank syariah saat ini.<br />Memasuki pertengahan tahun ini, perebutan dana di perbankan syariah diramalkan oleh banyak pengamat perbankan syariah kian tajam. Nasabah pencari margin dari tabungan yang makin paham bahwa bagi hasil di bank syariah lebih menjanjikan ketika suku bunga rendah, akan kembali mengincar bank syariah untuk menempatkan dananya.<br />Dari hasil pengamatan penulis, berikut adalah bagan analisis SWOT kondisi Bank Muamalat Indonesia<br /><br />Stength:<br />• Visi dan budaya organisasi BMI<br />• Citra BMI (pertama, terbesar, termurni, terbaik)<br />• Mekanisme bisnis dan produk bank syariah<br />• Aliansi strategis penunjang layanan produk (PT.Pos, BCA)<br /><br />Weakness<br />• Sumber daya insani (SDI) yang belum memadai<br />• Rasio kecukupan modal (CAR)<br />• Minimnya pendampingan PT. Pos<br /><br /><br />Opportunity<br />• Keingintahuan masyarakat <br />• Ghiroh KeIslaman semenjak War of terorism<br />• Ghiroh BI mengembangkan bank syariah<br />• Krisis global karena sistem ribawi dan ghoror<br />• Kerja sama lembaga keuangan luar negeri<br />• Minat investor asing Muslim<br /><br />Threat<br />• Pemahaman masyarakat atas bank syariah yang kurang<br />• Minat masyarakat atas produk bank syariah yang masih rendah<br />• Follow up inovasi produk bank syariah<br /><br /><br />Langkah 2 : Objectivitives<br /><br />1. Membangun kesadaran masyarakat (muslim khususnya) untuk beralih ke Bank Syariah.<br />2. Mengubah kesadaran awereness, attention hingga desire terhadap bank syariah hanya kepada Bank Muamalat Indonesia.<br /><br />Langkah 3: Strategy<br /><br />Citra (image) BMI sebagai bank syariah yang pertama di Indonesia, terbesar market share-nya, termurni sumber dan mekanismenya, serta terbaik perlakuannya adalah kekuatan kedua yang dapat diberdayakan BMI. Citra baik BMI ini harus dieksploitasi dalam berbagai kesempatan, terutama ketika memasarkan kepada nasabah. Sebab, setiap yang pertama, biasanya lebih tahu apa yang dilakukan dan apa yang merintangi. Setiap yang terbesar, biasanya lebih memiliki kekuatan untuk menghindarkan diri dari potensi kerusakan internal dan eksternal. Setiap sumber dan mekanisme yang murni, selalu memberikan hasil yang insya Alloh murni pula. Pada akhirnya, tertanamlah citra dan harapan bahwa setiap Muslim yang berusaha dan berbisnis selalu berusaha memberikan perlakuan yang terbaik kepada mitranya, karena begitulah Islam mengajarkan.<br /><br />Pull strategy<br /><br />1. Sosialisasi dan edukasi perbankan syariah. Hal ini dapat dilakukan secara mandiri ataupun dengan fasilitator BI bekerja sama dengan berbagai lembaga keuangan syariah lain, kalangan ulama, dan pemangku kepentingan umat Islam. Tetapi dalam kerangka kerja sama, BMI harus bisa memposisikan dirinya sebagai inisiator agar ketika sosialisasi dan edukasi dilakukan, bersama itu pula pasar juga ikut terjaring.<br />2. Pemasaran yang intensif dengan cara jemput bola, dengan cara pendampingan pada tiap kantor pos, ditiap kantor pos tersebut ditempatkan tim marketing BMI yang benar-benar memiliki product knowledge yang baik, karena seringkali ditemukan bahwa petugas kantor pos seringkali tidak tahu apa-apa tentang layanan dan produk BMI.<br />3. Memperkuat program-program sosial seperti CSR, ZIS, Wakaf, dan hibah.<br />4. Menggencarkan pemasaran lewat media, baik cetak maupun elektronik. Hal ini dilakukan untuk menaikan citra, memepertahankan reputasi dan positioning.<br /><br /><br />Push strategy<br /><br />Minat masyarakat terhadap produk bank syariah dapat diperkuat dengan melakukan inovasi produk yang sudah ada (ekstensifikasi produk) atau mengembangkan produk yang lebih baru (diversifikasi produk), serta penguatan strategi marketing yang sudah ada (intensifikasi produk). Hal ini dapat dilakukan dengan menguatkan divisi pengembangan produk dan melakukan kerja sama dengan berbagai lembaga keuangan Islam, terutama yang lebih berpengalaman (e.g. BMT, IRTI). Bersama dengan itu, sumber daya insani BMI menjadi sorotan penting untuk menunjang keberhasilan marketing dan inovasi.<br /><br /><br />Langkah 4 : Tactics<br /><br />Beberapa tools yang dapat dijadikan alat promosi BMI adalah sebagai berikut<br />• Membuat program pemberdayaan masyarakat pedesaan, karena inilah yang belum tergarap oleh bank syariah lain, padahal pangsa pasar yang bisa didapat cukup besar.<br />• Melakukan penetrasi pasar ke kalangan eksekutif dan pengusaha, dengan memberikan citra elegan dan terpercaya.<br />• Mengkampanyekan program-program sosial (seperti umroh gratis, beasiswa, santunan anak yatim dll) lewat media elektronik, Karena media elektronik (e.g TV nasional) terbukti cukup efektif sebagai sarana kampanye.<br />• Pendirian “Gerai Muamalat” di remote area tertentu, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah nasabah yang ingin berkonsultasi, menyampaikan komplain dan permasalahan. Karena banyak masalah yang tidak dapat hanya diselesaikan lewat hotline customer service (SalaMuamalat) saja.<br />• Membuka diri terhadap media, hal ini dapat dilakukan dengan mengubah gaya public relations yang lebih ramah terhadap media, memposisikan media sebagai mitra sehingga akan terjalin hubungan simbiosis mutualisme.<br />• Memodifikasi gaya/style periklanan menjadi lebih dinamis dan futuristic sesuai dengan target market.<br /><br /><br /><br />Langkah 5: Actions<br /><br />• Menyusun action plan yang akan didistribusikan ke seluruh cabang BMI. Action plan ini berfungsi sebagai “kitab suci” yang akan menjadi panduan gerak.<br />• Membentuk tim marketing yang tangguh, tim ini nantinya akan disebar keseluruh Indonesia untuk melaksanakan action plan yang telah disusun oleh manajemen. Tim ini terdiri dari Sumber Daya Insani BMI sendiri yang telah terbukti baik kinerjanya.<br />• Membentuk tim promosi yang terdiri dari para praktisi periklanan dan public relations, hal ini dilakukan untuk menangani promosi BMI agar tetap bisa mempertahankan loyalitas nasabah dan membentuk citra serta positioning dimata target market.<br />• Menampung segala usulan yang keluar dari internal, sehingga diinternal BMI akan terjadi dinamisasi yang akan memberikan feedback kepada BMI itu sendiri. <br /><br /><br /><br />Langkah 6: Control<br /><br />Berdasarkan analisis SOSTAC dibuatlah strategi umum maksimalisasi kekuatan dan pemanfaatan peluang untuk mengatasi kelemahan dan menghadapi tantangan. Analisis dan strategi tersebut menuntut dilaksanakannya beberapa paket program. Antara lain: sosialisasi dalam dan luar negeri, edukasi, rekrutmen, pelatihan, penguatan dan perbaikan strategi marketing, intensifikasi-ekstensifikasi-diversifikasi produk, retool program hadiah dan program sosial, kerja sama riset produk dengan pihak asing, permodalan asing, pendampingan PT. Pos dan perluasan jumlah Gerai Muamalat yang efektif, serta penguatan dan rekonfigurasi aliansi yang sudah ada.<br />Hal-hal diatas dapat dikontrol dengan beberapa indikator, diantaranya adalah peningkatan Assets, Finacial Facilities, Thrid Party Fund, Equity, dan Net Profit. Melalui indikator-indikator tersebutlah kita akan dapat mengontrol kesuksesan program yang telah disusun. Selain itu juga dapat dilakukan monitoring media massa, hal ini berguna untuk mengukur sejauh mana BMI berhasil mempengaruhi opini publik.<br /><br /><br />Penutup<br /><br />Demikianlah analisis SOSTAC ini penulis buat, semoga analisis sederhana ini dapat bermanfaat. Karena didalamnya terdapat strategi yang cukup komprehensif tentang strategi komunikasi pemasaran bagi BMI. Sehingga harapannya posisi BMI sebagai pelopor dan market leader tida tergoyahkan. Bagi penulis, Key Factor Succes BMI terletak pada Celestial Management yang ditanamkan menjadi Corporate Culture. Dengan Celestial Management, seluruh stake holder akan menyadari bahwa apapun yang kita perjuangkan hari ini sesungguhnya memiliki konteks yang lebih luas, jangka panjang, yaitu: hidup yang sejati barulah dimulai pada saat nafas terakhir terhembus. Itulah saat ketika kenisbian beranjak menuju keabadian. Inilah yang kemudian bisa menjadi ruh bagi BMI untuk terus melayani umat dengan sepenuh hati, sesuai slogannya “Pertama dan Murni Syariah”.<br /><br /><br /><br />Bahan Bacaan <br /><br />BMI. 2008. Goes to War: Laporan Tahunan 2007 (e-book). Jakarta: Bank Muamalat Indonesia.<br />Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. 2007. Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia (e-book). Jakarta: Bank Indonesia.<br />_____. 2007. Kebijakan Akselerasi Pengembangan Perbankan Syariah 2007-2008 (e-book). Jakarta: BI.<br />_____. 2007. Kodifikasi Produk Perbankan Syariah (e-book). Jakarta: BI.<br />_____. 2007. Panduan Investasi Perbankan Syariah Indonesia (e-book). Jakarta: Bank Indonesia<br />Kertajaya, Hermawan dkk. 2006. Marketing Syariah. Bandung: Mizan.<br /><br />Website:<br />http://www.muamalatbank.com <br />http://www.ekonomi.lipi.go.id <br />http://www.warkopbangzero.blogspot.comsandaljepithttp://www.blogger.com/profile/08082568225170062673noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4414567083781081639.post-58324003493262014912010-07-13T03:30:00.000-07:002010-07-13T03:32:55.342-07:00Bingung,,,<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjs-Cunkk4nKzuQr4AnrT4m_dKc9KIpdHJ2LgbRHbSxlNNGsr0w2FqtiQo_7lk0fvYxaq_iRGuNFW024O-yxdQknqIYjdh4BvANkH8P4jV_PIVNsW92-zNuKBKakAeo-apqVYJpKV7-1tw/s1600/cando_attitude.gif"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 264px; height: 270px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjs-Cunkk4nKzuQr4AnrT4m_dKc9KIpdHJ2LgbRHbSxlNNGsr0w2FqtiQo_7lk0fvYxaq_iRGuNFW024O-yxdQknqIYjdh4BvANkH8P4jV_PIVNsW92-zNuKBKakAeo-apqVYJpKV7-1tw/s320/cando_attitude.gif" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5493336863385991346" /></a><br />Wadezigg...<br /><br />Bingung dah, gak tau apa yang kudu di lakuin.<br />udah 2 hari bolos kerja lantaran ngerasa gak sesuai..<br /><br />tolongg.<br />gimana nih?sandaljepithttp://www.blogger.com/profile/08082568225170062673noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4414567083781081639.post-53748272949414247432010-07-13T02:57:00.000-07:002010-07-13T03:00:00.511-07:00The Jakarta Tour<span style="font-weight:bold;">The Jakarta’s Tour</span><br /><span style="font-style:italic;">Sebuah coretan anak Betawi yang frustasi karena belum bisa berbuat apa-apa untuk Jakarta</span><br /><span style="font-style:italic;">Oleh: Sya’bani Takdir*<br /></span><br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Semacam Prolog-lah kurang lebihnya</span><br /><br />Layaknya sebuah produk, Jakarta adalah komoditi yang sangat menarik. Tak heran jika tiap tahunnya lebih dari 200 ribu orang datang untuk berusaha menjadi bagian dari sirkulasi kehidupan di Jakarta, karena memang hampir 80% perputaran uang negeri ini terjadi dijakarta.<br /><br />Waktu boleh berganti, musim juga boleh datang dan pergi. Namun tidak demikian dengan kota yang satu ini, seolah tak lekang oleh zaman, semakin tua Jakarta justru semakin menarik semua orang, tua-tua keladi kata orang betawi. Hal ini terlihat dengan semakin sesaknya Jakarta, tidak hanya oleh manusia, tapi juga oleh modal, intrik dan masalah.<br /><br />Semua berlomba menjadi yang paling kuasa, persetan dengan omong kosong doktrin agama, moral apalagi sekadar budaya, begitu prinsipnya. Kalau tidak percaya, mari ikut aku sebentar menjelajahi sedikit sudut dari kota megapolitan yang di bangun oleh gubernur jendral belanda sebagai pertahanan dari serangan kerajaan Banten dan Demak ini.<br /><br />Jangan khawatir, aku tidak akan mengajakmu untuk membaca tulisan yang serius, karena bukankah selama ini kita sudah sangat serius menghadapi hidup? Sesekali ambil lah waktu untuk melenturkan syaraf agar tak melulu tegang. Salah satu cara terbaiknya adalah dengan mengikuti catatanku ini. Bisa jadi kau akan mengajukan pertanyaan; “bagaimana mungkin membaca catatan yang penuh dengan persoalan menjadi ajang relaksasi, salah-salah vertigoku bisa kumat.” Eits, sebentar kawan, ini adalah bagian dari tamasya intelektual, mengasah kepedulian dan kepekaan. Bahkan jauh-jauh hari Sang Nabi telah menitipkan pesan “manusia yang paling baik, adalah manusia yang paling bermanfaat untuk orang lain.” Jadi tunggu apa lagi… <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Discount up to 50%!</span><br /><br />Salemba, Kamis 17 Juni 2010. 16.00 pm<br /><br />Jam sibuk bagi lalu lintas salemba, berjalan dari stasiun cikini menyusuri trotoar sepanjang RS.cipto tentunya bukan pilihan baik, namun inilah yang paling masuk akal jika ingin cepat sampai tujuan, sekretariat sebuah organisasi kepemudaan yang menjadi anak organisasi dari salah satu ormas Islam besar di Indonesia. Sesampainya di jalan salemba raya keadaan tidak cukup menggembirakan, hanya menemukan perempatan yang bersiap memuntahkan ratusan kendaraan ketika lampu hijau menyala.<br /><br />Kau masih disitu kan kawan? Ya, hari ini kita akan menyusuri sebuah sudut Jakarta, Salemba Raya namanya, konon ini adalah jalan yang bersejarah karena pada tahun 60-an gerakan mahasiswa yang jengah terhadap tingkah polah penguasa mulai bergelora, tapi hari ini kita tidak akan melihat sisanya, sama saja dengan bagian Jakarta yang lain, terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Mahasiswa hanya asik berdebat diruang diskusi, seminar dan lokakarya. Beberapa memang masih melakukan aksi nyata, tapi jumlah mereka tak seberapa. Kau lihat lah itu, sisi kirimu adalah gedung Fak.Kedokteran UI, gedungnya masih sama memang, tapi penghuninya berbeda kawan. Tak perlulah aku ceritakan pula, karena bagian ini tidak bermaksud “mengutuk” mereka, sekadar mencolek saja mungkin.<br /><br />Terlalu jauh jika kita harus berjalan menuju Kramat Raya, ayo ikut aku naik 09A tujuan senen. Hari ini kita akan menghadiri sebuah seminar keagamaan. Tenang saja kita tak perlu membayar, kita memakai undangan milik ayahku. Beliau sudah tidak berminat menghadiri acara-acara model gini, tipuan dan trik belaka katanya, hahaha.<br />Ups, sampai kita di gedung yang aku katakan tadi, dan hemmm.. rupanya kita salah kostum, yang datang hampir seluruhnya begaya aristokrat. Tapi tak apalah, toh undangan yang aku pegang bertuliskan “ VIP”, jadi tak akan ada yang bisa mencegah kita, bukan begitu? Di Jakarta, kedudukan dan status –tapi aku lebih senang menyebutnya “cover”- sosial menjadi penting agar bisa diterima, sepakat atau tidak, itulah kenyataannya. Kau akan lebih dipandang dan dihormati ketika masuk sebuah gedung dengan turun dari kendaraan pribadi yang mentereng dan berkaki empat, tak peduli berapapun kapasitas otakmu. Sebaliknya jangan harap mendapat senyuman atau bungkukan badan dari penjaga gerbang ketika kau turun hanya dari Bajaj atau saudara kembarnya (baca:vespa), untuk hal ini lebih baik kau tanyakan pada ayahku, beliau sering mengalaminya. Tapi tentunya berbeda saat masuk, ketika beliau keluar gedung dengan diantar sang empunya, si penjaga yang tadi membukakan pintu pun ogah kini harus tergopoh-gopoh memberi hormat, lantaran baru tahu sesungguhnya orang di depannya itu. Ah, ini hanya lelucon sarkastik khas Jakarta.<br /><br />Nah, kita masuk sekarang. Agak canggung juga duduk dibarisan kedua dari depan. Konsekuensi dari undangan yang ada tulisan VIP. Lihat sekeliling mu, mereka orang-orang yang luar biasa bukan? Aku yakin, mereka adalah orang-orang yang sukses luar biasa dengan bisnisnya. Karena yang bisa masuk ke sini adalah orang-orang yang berkantong tebal, tidak percaya? Sebelum masuk tadi aku sempat berbincang dengan seorang kawan lama yang menjadi panitia, katanya satu tiket masuk dijual Rp 3.500.00o! harga yang fantastis bukan.. setidaknya untuk ukuran kita yang berbekal pas-pasan. Yang tidak punya uang, jelas tidak boleh masuk. Cukuplah bagi rakyat biasa di sirami rohaninya oleh ustadz dari kampung pinggiran kota, yang begitu ikhlas tiap harinya keluar masuk gang sempit agar mereka tak kehilangan pegangan, dan tetap punya harapan.<br /><br />Acara dimulai, seperti biasa sang pembicara mengambil alih forum. Dimulailah materi pelatihannya, tentang zero mind proses, mental building, personal strength, dan sosial strength sambil diiringi oleh backsound musik yang alunannya sudah sangat kita kenal. Ssttt… sebetulnya materi-materi ini bisa kita dapatkan di bukunya loh, tapi mungkin para hadirin disini sangat sibuk, sehingga tidak sempat untuk sekadar membaca buku, kan sudah jelas prinsipnya: waktu adalah uang. Jadi dilarang menghambur-hamburkan waktu untuk kegiatan yang kurang bernilai, kata si bapak yang duduk disebelahku begitu, ketika waktu coffe break aku singgung perihal materi yang ada di buku<br /><br />Sampailah kita pada sesi terakhir, beberapa lampu dimatikan. Masih diiringi alunan music instrumentalia, kita di ajak “bermuhasabah.” Merenungi kehidupan yang kita lalui selama ini. Mendadak isak tangis terdengar, di mulai dari ujung paling kanan. Tidak jelas siapa yang memulai, tapi seluruh ruangan menggema suara tangis kemudian. Ada yang lirih, juga ada yang meraung-raung. <br /><br />Setelah puas bertangis-tangis. Acara pun di akhiri, dengan pesan penutup dari sang pembicara yang mengajak peserta untuk ikut di pertemuan berikutnya. Diskon menarik bagi alumni pelatihan kali ini, begitu tambah sang MC.<br /><br />Wadeziggg. Aku tahu kau bingung, sama kawan aku juga. Ini sebetulnya training keagamaan atau sale dan cuci gudang? Aku mendengar kata diskon, potongan harga 50% dan sebagainya, jadi ingin tertawa. Tapi ya sudah lah, toh mereka memang beruang, jadi tak ada salahnya bukan. Lagi pula itu kan uang mereka sendiri. Tak perlu kita ributkan lah. <br /><br />Pulang yuk ah, ntar terlalu malam.. lagi pula kereta sudah agak lengang pastinya. Kau tahu, sepanjang jalan aku terus beristighfar karena aku pernah terpeleset menyelenggarakan acara yang seperti demikian, walaupun tak sampai jutaan harganya, tapi tetap saja sama. Seorang bahkan membisikiku waktu itu :”mau nangis aja koq harus sampai bayar seratus ribu ya?” Ya Robbi, ampuni kami… dan kau lihat kan, di seberang jalan ada dua sampai empat anak kecil yang berlarian menyewakan payung. Aku bisa mendengar bisik batinmu, “kontras sekali dengan keadaan di dalam” begitu katanya.<br /><br />Cerita tadi hanya sekelumit dari praktek jualan agama, bisnis yang laku keras akhir-akhir ini. Cerita lain lagi, tetangga kampung ku pernah kecewa saat mengadakan peringatan mauled nabi, lantaran penceramah yang merupakan ustadz terkenal dengan suara bagus dan seringkali tampil di TV membatalkan kedatangannya, karena ternyata setelah usut-punya usut kampung lain bisa membayar ustadz itu lebih mahal dari tetangga kampungku, kalau begini, kira-kira apa bedanya dengan artis dangdut?<br />Somad, teman kecilku juga pernah berkisah suatu kali remaja masjidnya pernah mengundang seorang habib untuk memberikan ceramah di acara isra mi’raj. Habib itu datang dan berkisah tentang perjuangan Rasulullah yang begitu luar biasa dalam menyebarkan Islam, harta dan jiwapun di korbankan. Selesai acara, somad memberikan amplop sebagai tanda terimakasih kepada sang Habib sambil mengantarkannya ke mobil. Namun sejurus kemudian, seseorang dari mobil yang utusan sang habib menyerahkan kembali amplop tadi kepada somad, katanya “Ente yang bener dong bang, masa Habib cuman di kasih 300 rebu perak. Ketuker kali ni amplop.” Somad bingung, karena remaja masjidnya memang hanya menganggarkan dana segitu untuk penceramah, pas –pasan uangnya. Bingung deh aye jadinye.<br /><br />Tanpa bermaksud menyamaratakan seluruh ustadz, habib, dan ulama lainnya. Itu lah kenyataan yang terjadi kawan, bukan hanya satu atau dua kejadian, tapi banyak sudah. Entah keliru dimana. Sampai sekarang aku pun hanya bisa berharap bahwa masih banyak ulama yang ikhlas memberikan ilmunya kepada ummat, aku yakin itu. Tapi, bagaimana dengan praktek dagang agama seperti ini… <br /><br />Sabar dulu ya, kita belum masuk pada bab tawaran solusi. Anggaplah ini semacam pemanasan sebelum kita melakukan lari sprint yang agak mengguncang. Karena di coretan berikutnya masih ada beberapa bab yang akan kita obrolkan, tentang budaya, moral dan sejenisnya. Jadi, nikmati yang ini dulu sajalah…<br /><br />Bersambung<br />Yk.04072010.sandaljepithttp://www.blogger.com/profile/08082568225170062673noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4414567083781081639.post-72089835430021766082009-10-15T06:08:00.000-07:002009-10-15T06:10:12.092-07:00Pers mahasiswa tidak bicara hidup atau mati<span style="font-weight:bold;">Pers mahasiswa tidak bicara hidup atau mati.</span><br /><br /><br />“Kami adalah mata pena yang tajam, yang siap menuliskan kebenaran, tanpa ragu lantakakan kedzaliman. Kami pisau belati yang selalu tajam, bak kesabaran yang tak pernah padam tuk arungi jalan ini jalan panjang.”<br /><br /><br />Berbicara tentang pers mahasiswa (baca: pemuda) maka tidak dapat di lepaskan dari Sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dapat di bayangkan seandainya pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno Hatta tidak di sebarkan luaskan oleh lembaga pers terbesar saat itu ( RRI ) maka rakyat Indonesia yang ada di ujung barat dan timur tidak akan mengetahui dengan segera berita kemerdekaan. Kita tentunya masih ingat dengan keberanian arek arek suroboyo dalam mempertahankan kedaulatan RI dari agresi militer Belanda yang memboceng kepada tentara sekutu, para pemuda pejuang yang di komandoi oleh Bung Tomo menjadikan stasiun RRI sebagai markas perlawanan, karena mereka tahu bahwa komunikasi ( baca : pers ) memegang peranan yang sangat urgent dalam memobilisasi rakyat untuk berjuang melawan kedatangan sekutu.<br /><br />Sejarah telah banyak bicara bahwa pers lah yang acapkali menjadi garda terdepan dalam perlawanan terhadap penguasa tiran.sehingga cerita tentang intimidasi, intervensi, bahkan pembredelan sudah menjadi menu yang akrab bahkan wajib, seorang wartawan senior pernah berseloroh : “kalau anda jadi wartawan, tapi belum pernah menginap di hotel gratisan –penjara- maka di ragukan keimanannya”.<br /><br />Tidak salah memang statement seperti itu, karena ketika sebuah lembaga pers menerbitkan berita yang membuat merah telinga penguasa maka siap siap saja untuk mendapatkan “Voucher menginap gratis” atau serendah rendahnya penguasa akan memberikan “reward” yakni berupa pencabutan SIUPP bagi siapa saja yang “berprestasi”, namun tenang, hal itu tidak berlaku lagi sekarang dan tulisan ini tidak bermaksud untuk mengenang masa- masa “bulan madu”. cerita diatas hanyalah sebuah perangsang untuk membicarakan tentang peranan pers – khususnya pers mahasiswa- masa kini, dengan bahasa yang agak “seksi” tentunya.<br /><br />Mendiskusikan peran pers menuntut kita untuk meneropongnya sebagai entitas yang terstrukturkan. Peran sering di pandang sebagai sebuah bagian dari struktur yang terbentuk dalam suatu proses sebelumnya dan akan terus berproses secara berkesinambungan. Oleh karena itu mengkaji bagaimana seharusnya peran pers di era transisi demokrasi Indonesia saat ini, kita perlu juga membicarakan peran pers sebelumnya seperti telah di singgung di atas, yakni pada masa kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde baru khususnya, karena peran pers kita tidak muncul dari sebuah vakum social.<br /><br />Pers mahasiswa saat ini belum mengalami kemajuan yang berarti, kalau malah tidak di sebut kemunduran, di bandingkan dengan peran mereka sebelumnya. Masa transisi yang kita alami sekarang menjadikan sebagian besar pers mahasiswa (dan umum tentunya) menderita sejenis krisis identitas atau gegar budaya. Mereka tercerabut dari fondasi yang lama, namun kini belum memiliki fondasi baru yang kokoh untuk berpijak. Dengan kata lain kita harus segera mambangun fondasi yang kokoh untuk kemudian menjadi sebuah bangunan yang beda, namun tidak asal beda tentunya.<br /><br />Peran sebagai “watch dog” kebijakan kebijakan birokrat kampus harus di jalankan dengan maksimal karena di sadari atau tidak pers mahasiswa sesunggunya memiliki tanggung jawab moral sebagai wadah control social yang terus memantau atmosfer kehidupan kampus dengan segala pernak pernik dan keunikannya.<br /><br />Ada hal penting yang kerap kali terlewatkan, pers mahasiswa seyogyanya memiliki dua mata pisau yang sama tajam, agar terjadi keseimbangan. Kedua mata pisau itu harus tetap tajam ke atas dan juga kebawah. Dengan artian pers mahasiswa tidak hanya bisa mengkritik tingkah pola serta kebijakan “orang orang langitan” universitas, tapi juga harus bisa beteriak lantang ketika terjadi ketidak beresan pada tataran organ organ mahasiswa. Mengutip istilahnya Jalaludin Rakhmat, jangan sampai pers mahasiswa hanya menjadi carbon copy dari permasalahan permasalahan yang terjadi. Keakuratan data serta ketajaman analisa menjadi syarat mutlak yang diperlukan untuk menjadi lembaga yang di segani. Tanpa dua hal itu, maka berita berita yang di hadirkan akan terasa kering kerontang.<br /><br />Pers mahasiswa juga dapat di jadikan kendaraan bagi para mahasiswa yang “edan” untuk mewadahi keedanannya itu. Bagaimana tidak, saat yang lain sibuk dengan kepentingan individu, tapi mereka malah sibuk mengurus kepentingan bersama, dan berani ambil resiko menghadapi dan menantang badai. Namun dapat di pastikan jika “orang orang edan” itu tidak lagi ada, maka tamatlah sudah sejarah mahasiswa.<br /><br />Akhirnya sebagai penutup, penulis hanya ingin berkata bahwa satu satunya hal yang konstan di dunia ini adalah perubahan, dan untuk mengawal proses perubahan itu di perlukan kontroling dan peran serta dari semua pihak, karena sesungguhnya perubahan adalah milik kita bersama, demi tercapainya negara yang kita cita citakan, negara yang bebas dari tirani dan penindasan.<br /><br />Tidak ada kata lain untuk mencapai tujuan itu semua, yakni hanya dengan “Bergerak”, seperti yang telah di ungkapkan oleh Umar bin Khatab : “Bergeraklah atau kamu akan mati”. Viva la fronta!!sandaljepithttp://www.blogger.com/profile/08082568225170062673noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4414567083781081639.post-36815479210053480282009-10-15T05:53:00.000-07:002009-10-15T05:55:35.091-07:00<span style="font-weight:bold;">Peran radio dalam pembangunan Mental dan moral keluarga.<br /><br />(Studi terhadap siaran radio MQ Fm Jogja)<br /></span><br /><br /><br /> <br /><br />Salah satu aspek dari pembangunan nasional adalah di bangunannya mental dan moral masyarakat, sebuah Negara akan sukses program pembangunannya manakala mental dan moral masyarakatnya pun di benahi, tidak hanya infrastruktur fisik yang di bangun.<br /><br />Teori yang di ungkapkan oleh Koentjoroningrat mengatakan bahwa salah satu factor “kegagalan” pembangunan ( di Indonesia khususnya ) adalah karena mental petani dan priyayi – tanpa bermaksud merendahkan para petani dan priyayi - masih mengakar kuat di negeri ini. Salah satu dari mental petani yang sampai sekarang masih terpatri dalam jiwa sebagian besar rakyat Indonesia adalah hidup hanya untuk hari ini. Seorang petani ketika bekerja, maka hanya berfikir bagaimana dirinya dan keluarga bisa makan hari ini, tidak pernah terfikirkan untuk menyimpan uang hasil pekerjaannya dalam bentuk investasi untuk jaminan hidup di masa yang akan datang. Ketika mental seperti itu masih tertanam kuat, maka masyarakat kita pun tidak akan terfikirkan untuk berinvestasi, ini lah salah satu factor yang menyebabkan berjalan lambatnya pembangunan di persada Indonesia.<br /><br />Sikap mental kedua yang juga “memiliki andil” menghambat laju pembangunan adalah sikap seoarang priyayi yang selalu terobsesi dengan masa lalu, kita dapat menyaksikan bahwa sangat bangganya keturunan ningrat bercerita tentang leluhurnya, kemudian jika terjadi kemelut hari ini mereka pasti dengan serta merta menyalahkan “orang orang terdahulu”, sikap seperti ini sangat berbahaya jika terus menerus ditekuri oleh bangsa Indonesia, kita akan selalu terjebak dengan romantisme sejarah yang mengatakan bahwa pada zaman dahulu Indonesia adalah Negara yang di segani, macan asia dan pernyataan pernyataan yang membuat kita terbuai. Kemudian ketikta terjadi krisis yang berkepanjangan saat ini, kita selalu mengkambing hitam kan para pemimpin terdahulu, seolah olah kitalah yang menanggung dosa kesalahan mereka, padahal sejatinya krisis yang terjadi saat ini adalah buah dari ketidak cakapan kita mengelola amanah dari Tuhan berupa bumi Indonesia yang konon kabarnya merupakan “tanah surga” dimana tongkat kayu ditanam jadi tanaman yang dapat di makan.<br /><br />Keluarga sebagai elemen terkecil dalam struktur masyarakat, memiliki peran besar menjadi “almadrasatul ula” atau sekolah pertama bagi anggotanya. Nilai nilai yang pertamakali ditanamkan dalam keluarga akan melekat yang akhirnya akan menjadi semacam system imun dalam diri seorang anak. Peran yang sangat fundamental ini ternyata dapat di tangkap dengan baik oleh pihak Manajemen Qolbu ( MQ Fm ), radio yang didirikan oleh KH.Abdullah Gymnastiar atau yang lebih popular disebut dengan Aa Gym dan telah mempunyai jaringan di beberapa kota, Yogyakarta diantaranya mengalokasikan waktu khusus untuk pembinaan mental dan moral keluarga, acara acara itu diantaranya adalah : rumahku syurgaku yang disiarkan pagi menjelang siang hari, serta OASE IMANI yang di siarkan pada sore harinya, menurut Aa Gym sendiri, mengutip pendapatnya Imam Hassan Al Banna seorang pembaharu Islam yang berasal dari Mesir, keluarga merupakan salah satu pilar penting dalam rangka membangun sebuah masyarakat madani. Oleh karenanya pihak manajemen pusat MQ Fm di Bandung mewajibkan seluruh jaringannya untuk mengalokasikan waktu membuat acara yang di peruntukkan bagi pembinaan keluarga.<br /><br />MQ Fm Jogja yang bermarkas di Graha AMIKOM juga mempunyai kepedulian yang sama, bahkan pihak manajemen juga membuat semacam komunitas yakni tahajud call serta MQ family dalam rangka mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah, sehingga di harapkan pada akhirnya nanti, keluarga2 tersebut dapat melahirkan para anak anak bermoral dan bermental ksatria yang pada gilirannya mampu mengemban amanah dengan baik menjadi generasi pelurus negeri ini, serta menjadi agent of social change serta kader pembangunan yang professional demi terwujudnya peradaban bangsa seperti yang di cita citakan para pendiri negeri ini, yakni Indonesia yang madani. Semoga.sandaljepithttp://www.blogger.com/profile/08082568225170062673noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4414567083781081639.post-71613517321093246362009-10-15T05:21:00.000-07:002009-10-15T05:26:31.901-07:00BlackBerry dan Teori Komunikasi<meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 12"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 12"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CLuna25%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><link rel="themeData" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CLuna25%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx"><link rel="colorSchemeMapping" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CLuna25%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:trackmoves/> <w:trackformatting/> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:donotpromoteqf/> <w:lidthemeother>EN-US</w:LidThemeOther> <w:lidthemeasian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:lidthemecomplexscript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> <w:splitpgbreakandparamark/> <w:dontvertaligncellwithsp/> <w:dontbreakconstrainedforcedtables/> <w:dontvertalignintxbx/> <w:word11kerningpairs/> <w:cachedcolbalance/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> <m:mathpr> <m:mathfont val="Cambria Math"> <m:brkbin val="before"> <m:brkbinsub val="--"> <m:smallfrac val="off"> <m:dispdef/> <m:lmargin val="0"> <m:rmargin val="0"> <m:defjc val="centerGroup"> <m:wrapindent val="1440"> <m:intlim val="subSup"> <m:narylim val="undOvr"> </m:mathPr></w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" defunhidewhenused="true" defsemihidden="true" defqformat="false" defpriority="99" latentstylecount="267"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Normal"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="heading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="35" qformat="true" name="caption"> <w:lsdexception locked="false" priority="10" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" name="Default Paragraph Font"> <w:lsdexception locked="false" priority="11" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtitle"> <w:lsdexception locked="false" priority="22" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Strong"> <w:lsdexception locked="false" priority="20" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="59" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Table Grid"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Placeholder Text"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="No Spacing"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Revision"> <w:lsdexception locked="false" priority="34" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="List Paragraph"> <w:lsdexception locked="false" priority="29" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="30" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="19" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="21" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="31" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="32" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="33" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Book Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="37" name="Bibliography"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" qformat="true" name="TOC Heading"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-alt:"Arial Rounded MT Bold"; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-bidi-font-family:"Times New Roman";} a:link, span.MsoHyperlink {mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; color:blue; text-decoration:underline; text-underline:single;} a:visited, span.MsoHyperlinkFollowed {mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; color:purple; mso-themecolor:followedhyperlink; text-decoration:underline; text-underline:single;} p {mso-style-priority:99; mso-margin-top-alt:auto; margin-right:0cm; mso-margin-bottom-alt:auto; margin-left:0cm; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-size:10.0pt; mso-ansi-font-size:10.0pt; mso-bidi-font-size:10.0pt; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-hansi-font-family:Calibri;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman","serif";">Melihat Fenomena BlackBerry dari Berbagai Teori Komunikasi<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman","serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman","serif";">BlackBerry atau yang lebih dikenal dengan sebutan BB, sepertinya saat ini telah menjadi salah satu kebutuhan utama, layaknya sandang, pangan dan papan. Atau mungkin bahkan lebih ekstrim lagi diatas dari ketiga kebutuhan primer diatas, misal: biarlah masih <em>ngekost</em> atau <em>ngontrak</em>, tapi menenteng kesana kemari sebuah BB di genggamananya ataupun rela mengurangi jatah makan guna mendapatkan si “berry hitam” yang tengah menjadi idola masyarakat perkotaan, khususnya Jakarta.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman","serif";">Kita coba ingat kembali, sekitar tahun 2007 kemarin, dimana demam <em>Communicator</em> (sebutan dari Nokia Communicator family) melanda ibukota ini. Masyarakat Jakarta dan kota-kota besar lainnya pun rela antri dari subuh di depan konter penjual Nokia, baik yang resmi ataupun tidak hanya untuk bisa mencicipi si “<em>brick-like smartphone</em>” terbaru itu<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman","serif";">Mereka pun rela membayar selisih lebih sekian ratus ribu atau sekian juta rupiah untuk menjadi nomor pertama didalam waiting list yang telah mengular bak antrian sembako ataupun minyak tanah itu. Itu semua karena pada saat itulah <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Nokia_E90_Communicator"><span style="color: windowtext; text-decoration: none;">Nokia E90</span></a> dilaunching untuk pertama kalinya di dunia, dan Indonesia lah pilihan utama tempat peluncuran handphone pintar terbaru dari Nokia<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman","serif";">Tidak salah memang pihak marketing Nokia memilih Indonesia sebagai tempat peluncuran pertama kali Nokia E90, yang kadang-kadang diplesetkan dengan “<em>EGO</em>“, hampir sebagian besar masyarakat Indonesia mempunyai <em>ego</em> yang sangat tinggi. Melebihi dari realitas yang bisa ditolerir oleh orang pada umumnya<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman","serif";">Jangan heran jika kita mendapati sebuah <em>rumah gubuk reyot</em> yang atapnya berlubang-lubang tetapi didalamnya terdapat sebuah televisi 21 inchi dan pemiliknya sedang berasyik masyuk <em>sms-an</em> ria atau ber<em>haha-hihi</em> dengan sebuah handphone yang cukup buat beli beras untuk sebulan lamanya<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman","serif";">Itu contoh untuk kaum marginal ataupun yang berekonomi <em>pas-pasan</em>, coba kita tengok diseberang sana, kelakuan yang hampir serupa tapi dalam taraf yang lebih parah pun melanda kaum <em>gedongan</em> ataupun <em>borjuis</em> yang uangnya seolah-olah tidak <em>berseri</em> saking banyaknya.</span> <span style=""> </span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman","serif";">Contoh nyata, mobil paling terkini yang masih dipamerkan disebuah ajang <em>motorshow</em> diluar negeri sana, hanya dibuat secara <em>limited</em> (terbatas) dan jumlahnya di seluruh dunia hanya ada 10, jangan kaget jika 2 atau 3 dari jatah itu adalah untuk orang Indonesia<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;">Sekarang kita kembali lagi ke topik diatas, tentang fenomena <em>blackberry</em> yang seolah-olah meluluh lantakkan berbagai macam fenomena-fenomena alam yang telah terjadi selama ini. Fenomena ini sedang melanda masyarakat kota besar hingga pelosok negeri. Yang muda ataupun tua, dari pelajar, mahasiswa hingga orang perkantoran. Semuanya terbius dengan si “<em>berry-hitam</em>” yang konon presiden Amerika Serikat terpilih, Barrack Obama <em>pun</em> tidak bisa lepas darinya</p> <p style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;">Kebutuhan akan komunikasi data maupun suara dimana saja dan kapan saja, saat ini memang sudah menjadi hal yang lumrah. Seiring dengan pertumbuhan teknologi komunikasi yang semakin memudahkan seseorang untuk bisa terhubung ke seluruh penjuru dunia lewat bantuan Internet. Tapi apakah kita lupa, itu semua telah menjadi fitur utama dari semua smartphone mulai dari jaman <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Nokia_6600"><span style="color: windowtext;">Nokia 6600</span></a> diluncurkan (kira-kira 7 tahun yang lalu).</p> <p style="text-align: justify; line-height: 150%;"><b style=""><i style="">Tinjauan Berbagai Teori <span style=""> </span>Komunikasi terhadap Fenomena BlackBerry.<o:p></o:p></i></b></p> <p style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;">Menilik Fenomena Blackberry yang telah menggejala sedemikian akutnya, menarik juga untuk di kaji dalam perspektif berbagai teori komunikasi, teori yang berkenaan dengan literasi media (dalam hal ini teknologi komunikasi), seperti yang di utarakan oleh William (1987:7) “Apakah kita tuan atau korban Teknologi komunikasi, bergantung pada kemampuan kita secara kelompok untuk menggunakannya secara bijaksana agar bermanfaat bagi manusia”. </p> <p style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;">Ketika seseorang telah asyik dengan dirinya sendiri dan “dunianya sendiri”, apalagi tidak memperdulikan lingkungan sekitar, menjadikan sikap ketergantungan yang teramat sangat, tidak bisa hidup tanpa “dunianya”, maka orang tersebut boleh dibilang telah terkena gejala-gejala penyakit autis (baca:tidak peduli dengan lingkungan sekitar). Seorang pengguna maniak BlackBerry bisa menghabiskan waktunya berjam-jam, bahkan seharian penuh bersamanya. Entah untuk membalas email, memberikan komentar lewat blogwalking, upload foto terbaru kedalam facebook, ataupun sekedar browsing dan chatting dengan seseorang yang dari antah berantah diseberang sana.</p> <p style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;">Dia seolah-olah telah mempunyai dunianya sendiri, tidak menghiraukan lagi lingkungan disekitarnya. Toh dengan BlackBerry di genggamannya, dan koneksi internet selama 24 jam nonstop yang didapatnya, maka dia bisa menciptakan dunia yang sesuai dengan keinginannya. Dunia semu nan majemuk alias dunia maya</p> <p style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;">Untuk menjelaskan fenomena “kecanduan” Blackberry ini, Selain teori media literasi, kita juga dapat menggunakan berbagai teori komunikasi massa, terutama teori depedensi effek komunikasi massa. <span style="" lang="IT">Teori ini dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeachdan Melvin L. DeFluer (1976), yang memfokuskan pada kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur kecenderungan terjadinya suatu efek media massa. Teori ini berangkat dari sifat masyarakat modern, diamana media massa diangap sebagai sistem informasi yang memiliki peran penting dalam proses memelihara, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat,kelompok, dan individu dalam aktivitas sosial.<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Selain itu, juga ada pendapat yang lebih mengena tentang fenomena ini, yakni pendapat yang di utarakan oleh Denni Coulet tentang efek teknologi komunikasi: “</span>Teknologisasi yang terjadi di dunia ketiga adalah ibarat pedang bermata dua, yakni sebagai pembawa dan penghancur nilai-nilai. Sebagai pembawa nilai-nilai yang borjuis-kapitalis Barat yang rasionalistik, individualistik, positivistik, tapi juga sekaligus sebagai penghancur budaya lokal yang religius-asketis, fatalis serta memegang teguh prinsip-prinsip collective collegia. (Denis Coulet, dalam Abrar. 2003)</p> <p style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;">Hal diatas pada dasarnya tidak hanya bisa terjadi kepada pengguna BB saja, tapi bisa terjadi pada siapa saja, para pengguna handphone yang hanya bisa untuk kirim sms dan menelpon saja pun juga bisa menciptakan dunia yang serupa. </p> <p style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;">Memang semua itu kembali pada diri masing-masing. Seberapa pentingkah memiliki BlackBerry itu untuk kita ? <em><span style="font-style: normal;">layak</span></em><i style=""> </i>kah kita harus mengeluarkan uang seharga satu ekor sapi untuk sebuah alat <em>komunikasi pintar</em> ini ? Jangan sampai semua itu hanyalah demi kesenangan sesaat saja. </p> sandaljepithttp://www.blogger.com/profile/08082568225170062673noreply@blogger.com0