Wilujeng Sumping^^

Selamat datang di sini, silahkan menikmati hidangan yang ada. Alakadarnya saja ya..
Ga usah terlalu serius lah:)

Selasa, 13 Juli 2010

The Jakarta Tour

The Jakarta’s Tour
Sebuah coretan anak Betawi yang frustasi karena belum bisa berbuat apa-apa untuk Jakarta
Oleh: Sya’bani Takdir*



Semacam Prolog-lah kurang lebihnya

Layaknya sebuah produk, Jakarta adalah komoditi yang sangat menarik. Tak heran jika tiap tahunnya lebih dari 200 ribu orang datang untuk berusaha menjadi bagian dari sirkulasi kehidupan di Jakarta, karena memang hampir 80% perputaran uang negeri ini terjadi dijakarta.

Waktu boleh berganti, musim juga boleh datang dan pergi. Namun tidak demikian dengan kota yang satu ini, seolah tak lekang oleh zaman, semakin tua Jakarta justru semakin menarik semua orang, tua-tua keladi kata orang betawi. Hal ini terlihat dengan semakin sesaknya Jakarta, tidak hanya oleh manusia, tapi juga oleh modal, intrik dan masalah.

Semua berlomba menjadi yang paling kuasa, persetan dengan omong kosong doktrin agama, moral apalagi sekadar budaya, begitu prinsipnya. Kalau tidak percaya, mari ikut aku sebentar menjelajahi sedikit sudut dari kota megapolitan yang di bangun oleh gubernur jendral belanda sebagai pertahanan dari serangan kerajaan Banten dan Demak ini.

Jangan khawatir, aku tidak akan mengajakmu untuk membaca tulisan yang serius, karena bukankah selama ini kita sudah sangat serius menghadapi hidup? Sesekali ambil lah waktu untuk melenturkan syaraf agar tak melulu tegang. Salah satu cara terbaiknya adalah dengan mengikuti catatanku ini. Bisa jadi kau akan mengajukan pertanyaan; “bagaimana mungkin membaca catatan yang penuh dengan persoalan menjadi ajang relaksasi, salah-salah vertigoku bisa kumat.” Eits, sebentar kawan, ini adalah bagian dari tamasya intelektual, mengasah kepedulian dan kepekaan. Bahkan jauh-jauh hari Sang Nabi telah menitipkan pesan “manusia yang paling baik, adalah manusia yang paling bermanfaat untuk orang lain.” Jadi tunggu apa lagi…

Discount up to 50%!

Salemba, Kamis 17 Juni 2010. 16.00 pm

Jam sibuk bagi lalu lintas salemba, berjalan dari stasiun cikini menyusuri trotoar sepanjang RS.cipto tentunya bukan pilihan baik, namun inilah yang paling masuk akal jika ingin cepat sampai tujuan, sekretariat sebuah organisasi kepemudaan yang menjadi anak organisasi dari salah satu ormas Islam besar di Indonesia. Sesampainya di jalan salemba raya keadaan tidak cukup menggembirakan, hanya menemukan perempatan yang bersiap memuntahkan ratusan kendaraan ketika lampu hijau menyala.

Kau masih disitu kan kawan? Ya, hari ini kita akan menyusuri sebuah sudut Jakarta, Salemba Raya namanya, konon ini adalah jalan yang bersejarah karena pada tahun 60-an gerakan mahasiswa yang jengah terhadap tingkah polah penguasa mulai bergelora, tapi hari ini kita tidak akan melihat sisanya, sama saja dengan bagian Jakarta yang lain, terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Mahasiswa hanya asik berdebat diruang diskusi, seminar dan lokakarya. Beberapa memang masih melakukan aksi nyata, tapi jumlah mereka tak seberapa. Kau lihat lah itu, sisi kirimu adalah gedung Fak.Kedokteran UI, gedungnya masih sama memang, tapi penghuninya berbeda kawan. Tak perlulah aku ceritakan pula, karena bagian ini tidak bermaksud “mengutuk” mereka, sekadar mencolek saja mungkin.

Terlalu jauh jika kita harus berjalan menuju Kramat Raya, ayo ikut aku naik 09A tujuan senen. Hari ini kita akan menghadiri sebuah seminar keagamaan. Tenang saja kita tak perlu membayar, kita memakai undangan milik ayahku. Beliau sudah tidak berminat menghadiri acara-acara model gini, tipuan dan trik belaka katanya, hahaha.
Ups, sampai kita di gedung yang aku katakan tadi, dan hemmm.. rupanya kita salah kostum, yang datang hampir seluruhnya begaya aristokrat. Tapi tak apalah, toh undangan yang aku pegang bertuliskan “ VIP”, jadi tak akan ada yang bisa mencegah kita, bukan begitu? Di Jakarta, kedudukan dan status –tapi aku lebih senang menyebutnya “cover”- sosial menjadi penting agar bisa diterima, sepakat atau tidak, itulah kenyataannya. Kau akan lebih dipandang dan dihormati ketika masuk sebuah gedung dengan turun dari kendaraan pribadi yang mentereng dan berkaki empat, tak peduli berapapun kapasitas otakmu. Sebaliknya jangan harap mendapat senyuman atau bungkukan badan dari penjaga gerbang ketika kau turun hanya dari Bajaj atau saudara kembarnya (baca:vespa), untuk hal ini lebih baik kau tanyakan pada ayahku, beliau sering mengalaminya. Tapi tentunya berbeda saat masuk, ketika beliau keluar gedung dengan diantar sang empunya, si penjaga yang tadi membukakan pintu pun ogah kini harus tergopoh-gopoh memberi hormat, lantaran baru tahu sesungguhnya orang di depannya itu. Ah, ini hanya lelucon sarkastik khas Jakarta.

Nah, kita masuk sekarang. Agak canggung juga duduk dibarisan kedua dari depan. Konsekuensi dari undangan yang ada tulisan VIP. Lihat sekeliling mu, mereka orang-orang yang luar biasa bukan? Aku yakin, mereka adalah orang-orang yang sukses luar biasa dengan bisnisnya. Karena yang bisa masuk ke sini adalah orang-orang yang berkantong tebal, tidak percaya? Sebelum masuk tadi aku sempat berbincang dengan seorang kawan lama yang menjadi panitia, katanya satu tiket masuk dijual Rp 3.500.00o! harga yang fantastis bukan.. setidaknya untuk ukuran kita yang berbekal pas-pasan. Yang tidak punya uang, jelas tidak boleh masuk. Cukuplah bagi rakyat biasa di sirami rohaninya oleh ustadz dari kampung pinggiran kota, yang begitu ikhlas tiap harinya keluar masuk gang sempit agar mereka tak kehilangan pegangan, dan tetap punya harapan.

Acara dimulai, seperti biasa sang pembicara mengambil alih forum. Dimulailah materi pelatihannya, tentang zero mind proses, mental building, personal strength, dan sosial strength sambil diiringi oleh backsound musik yang alunannya sudah sangat kita kenal. Ssttt… sebetulnya materi-materi ini bisa kita dapatkan di bukunya loh, tapi mungkin para hadirin disini sangat sibuk, sehingga tidak sempat untuk sekadar membaca buku, kan sudah jelas prinsipnya: waktu adalah uang. Jadi dilarang menghambur-hamburkan waktu untuk kegiatan yang kurang bernilai, kata si bapak yang duduk disebelahku begitu, ketika waktu coffe break aku singgung perihal materi yang ada di buku

Sampailah kita pada sesi terakhir, beberapa lampu dimatikan. Masih diiringi alunan music instrumentalia, kita di ajak “bermuhasabah.” Merenungi kehidupan yang kita lalui selama ini. Mendadak isak tangis terdengar, di mulai dari ujung paling kanan. Tidak jelas siapa yang memulai, tapi seluruh ruangan menggema suara tangis kemudian. Ada yang lirih, juga ada yang meraung-raung.

Setelah puas bertangis-tangis. Acara pun di akhiri, dengan pesan penutup dari sang pembicara yang mengajak peserta untuk ikut di pertemuan berikutnya. Diskon menarik bagi alumni pelatihan kali ini, begitu tambah sang MC.

Wadeziggg. Aku tahu kau bingung, sama kawan aku juga. Ini sebetulnya training keagamaan atau sale dan cuci gudang? Aku mendengar kata diskon, potongan harga 50% dan sebagainya, jadi ingin tertawa. Tapi ya sudah lah, toh mereka memang beruang, jadi tak ada salahnya bukan. Lagi pula itu kan uang mereka sendiri. Tak perlu kita ributkan lah.

Pulang yuk ah, ntar terlalu malam.. lagi pula kereta sudah agak lengang pastinya. Kau tahu, sepanjang jalan aku terus beristighfar karena aku pernah terpeleset menyelenggarakan acara yang seperti demikian, walaupun tak sampai jutaan harganya, tapi tetap saja sama. Seorang bahkan membisikiku waktu itu :”mau nangis aja koq harus sampai bayar seratus ribu ya?” Ya Robbi, ampuni kami… dan kau lihat kan, di seberang jalan ada dua sampai empat anak kecil yang berlarian menyewakan payung. Aku bisa mendengar bisik batinmu, “kontras sekali dengan keadaan di dalam” begitu katanya.

Cerita tadi hanya sekelumit dari praktek jualan agama, bisnis yang laku keras akhir-akhir ini. Cerita lain lagi, tetangga kampung ku pernah kecewa saat mengadakan peringatan mauled nabi, lantaran penceramah yang merupakan ustadz terkenal dengan suara bagus dan seringkali tampil di TV membatalkan kedatangannya, karena ternyata setelah usut-punya usut kampung lain bisa membayar ustadz itu lebih mahal dari tetangga kampungku, kalau begini, kira-kira apa bedanya dengan artis dangdut?
Somad, teman kecilku juga pernah berkisah suatu kali remaja masjidnya pernah mengundang seorang habib untuk memberikan ceramah di acara isra mi’raj. Habib itu datang dan berkisah tentang perjuangan Rasulullah yang begitu luar biasa dalam menyebarkan Islam, harta dan jiwapun di korbankan. Selesai acara, somad memberikan amplop sebagai tanda terimakasih kepada sang Habib sambil mengantarkannya ke mobil. Namun sejurus kemudian, seseorang dari mobil yang utusan sang habib menyerahkan kembali amplop tadi kepada somad, katanya “Ente yang bener dong bang, masa Habib cuman di kasih 300 rebu perak. Ketuker kali ni amplop.” Somad bingung, karena remaja masjidnya memang hanya menganggarkan dana segitu untuk penceramah, pas –pasan uangnya. Bingung deh aye jadinye.

Tanpa bermaksud menyamaratakan seluruh ustadz, habib, dan ulama lainnya. Itu lah kenyataan yang terjadi kawan, bukan hanya satu atau dua kejadian, tapi banyak sudah. Entah keliru dimana. Sampai sekarang aku pun hanya bisa berharap bahwa masih banyak ulama yang ikhlas memberikan ilmunya kepada ummat, aku yakin itu. Tapi, bagaimana dengan praktek dagang agama seperti ini…

Sabar dulu ya, kita belum masuk pada bab tawaran solusi. Anggaplah ini semacam pemanasan sebelum kita melakukan lari sprint yang agak mengguncang. Karena di coretan berikutnya masih ada beberapa bab yang akan kita obrolkan, tentang budaya, moral dan sejenisnya. Jadi, nikmati yang ini dulu sajalah…

Bersambung
Yk.04072010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar