Wilujeng Sumping^^

Selamat datang di sini, silahkan menikmati hidangan yang ada. Alakadarnya saja ya..
Ga usah terlalu serius lah:)

Kamis, 15 Oktober 2009

Pers mahasiswa tidak bicara hidup atau mati

Pers mahasiswa tidak bicara hidup atau mati.


“Kami adalah mata pena yang tajam, yang siap menuliskan kebenaran, tanpa ragu lantakakan kedzaliman. Kami pisau belati yang selalu tajam, bak kesabaran yang tak pernah padam tuk arungi jalan ini jalan panjang.”


Berbicara tentang pers mahasiswa (baca: pemuda) maka tidak dapat di lepaskan dari Sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dapat di bayangkan seandainya pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno Hatta tidak di sebarkan luaskan oleh lembaga pers terbesar saat itu ( RRI ) maka rakyat Indonesia yang ada di ujung barat dan timur tidak akan mengetahui dengan segera berita kemerdekaan. Kita tentunya masih ingat dengan keberanian arek arek suroboyo dalam mempertahankan kedaulatan RI dari agresi militer Belanda yang memboceng kepada tentara sekutu, para pemuda pejuang yang di komandoi oleh Bung Tomo menjadikan stasiun RRI sebagai markas perlawanan, karena mereka tahu bahwa komunikasi ( baca : pers ) memegang peranan yang sangat urgent dalam memobilisasi rakyat untuk berjuang melawan kedatangan sekutu.

Sejarah telah banyak bicara bahwa pers lah yang acapkali menjadi garda terdepan dalam perlawanan terhadap penguasa tiran.sehingga cerita tentang intimidasi, intervensi, bahkan pembredelan sudah menjadi menu yang akrab bahkan wajib, seorang wartawan senior pernah berseloroh : “kalau anda jadi wartawan, tapi belum pernah menginap di hotel gratisan –penjara- maka di ragukan keimanannya”.

Tidak salah memang statement seperti itu, karena ketika sebuah lembaga pers menerbitkan berita yang membuat merah telinga penguasa maka siap siap saja untuk mendapatkan “Voucher menginap gratis” atau serendah rendahnya penguasa akan memberikan “reward” yakni berupa pencabutan SIUPP bagi siapa saja yang “berprestasi”, namun tenang, hal itu tidak berlaku lagi sekarang dan tulisan ini tidak bermaksud untuk mengenang masa- masa “bulan madu”. cerita diatas hanyalah sebuah perangsang untuk membicarakan tentang peranan pers – khususnya pers mahasiswa- masa kini, dengan bahasa yang agak “seksi” tentunya.

Mendiskusikan peran pers menuntut kita untuk meneropongnya sebagai entitas yang terstrukturkan. Peran sering di pandang sebagai sebuah bagian dari struktur yang terbentuk dalam suatu proses sebelumnya dan akan terus berproses secara berkesinambungan. Oleh karena itu mengkaji bagaimana seharusnya peran pers di era transisi demokrasi Indonesia saat ini, kita perlu juga membicarakan peran pers sebelumnya seperti telah di singgung di atas, yakni pada masa kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde baru khususnya, karena peran pers kita tidak muncul dari sebuah vakum social.

Pers mahasiswa saat ini belum mengalami kemajuan yang berarti, kalau malah tidak di sebut kemunduran, di bandingkan dengan peran mereka sebelumnya. Masa transisi yang kita alami sekarang menjadikan sebagian besar pers mahasiswa (dan umum tentunya) menderita sejenis krisis identitas atau gegar budaya. Mereka tercerabut dari fondasi yang lama, namun kini belum memiliki fondasi baru yang kokoh untuk berpijak. Dengan kata lain kita harus segera mambangun fondasi yang kokoh untuk kemudian menjadi sebuah bangunan yang beda, namun tidak asal beda tentunya.

Peran sebagai “watch dog” kebijakan kebijakan birokrat kampus harus di jalankan dengan maksimal karena di sadari atau tidak pers mahasiswa sesunggunya memiliki tanggung jawab moral sebagai wadah control social yang terus memantau atmosfer kehidupan kampus dengan segala pernak pernik dan keunikannya.

Ada hal penting yang kerap kali terlewatkan, pers mahasiswa seyogyanya memiliki dua mata pisau yang sama tajam, agar terjadi keseimbangan. Kedua mata pisau itu harus tetap tajam ke atas dan juga kebawah. Dengan artian pers mahasiswa tidak hanya bisa mengkritik tingkah pola serta kebijakan “orang orang langitan” universitas, tapi juga harus bisa beteriak lantang ketika terjadi ketidak beresan pada tataran organ organ mahasiswa. Mengutip istilahnya Jalaludin Rakhmat, jangan sampai pers mahasiswa hanya menjadi carbon copy dari permasalahan permasalahan yang terjadi. Keakuratan data serta ketajaman analisa menjadi syarat mutlak yang diperlukan untuk menjadi lembaga yang di segani. Tanpa dua hal itu, maka berita berita yang di hadirkan akan terasa kering kerontang.

Pers mahasiswa juga dapat di jadikan kendaraan bagi para mahasiswa yang “edan” untuk mewadahi keedanannya itu. Bagaimana tidak, saat yang lain sibuk dengan kepentingan individu, tapi mereka malah sibuk mengurus kepentingan bersama, dan berani ambil resiko menghadapi dan menantang badai. Namun dapat di pastikan jika “orang orang edan” itu tidak lagi ada, maka tamatlah sudah sejarah mahasiswa.

Akhirnya sebagai penutup, penulis hanya ingin berkata bahwa satu satunya hal yang konstan di dunia ini adalah perubahan, dan untuk mengawal proses perubahan itu di perlukan kontroling dan peran serta dari semua pihak, karena sesungguhnya perubahan adalah milik kita bersama, demi tercapainya negara yang kita cita citakan, negara yang bebas dari tirani dan penindasan.

Tidak ada kata lain untuk mencapai tujuan itu semua, yakni hanya dengan “Bergerak”, seperti yang telah di ungkapkan oleh Umar bin Khatab : “Bergeraklah atau kamu akan mati”. Viva la fronta!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar